Ibrani 11:8, Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
Pahlawan iman yang keempat adalah Abraham.
Seringkali kita suka berpikir bahwa Abraham adalah karakter yang hebat di Alkitab karena imannya yang super. Apalagi ketika kita membaca ayat 8 ini yang menunjukkan bahwa ia dengan beraninya pergi ke suatu tempat yang sama sekali sebelumnya tidak dikenalinya. Kita lupa bahwa seperti kita, ia pun cuma manusia biasa. Manusia biasa yang juga harus belajar untuk menjadi taat.
Memang betul bahwa ketika ia berangkat menuju ke Kanaan, Kanaan adalah tempat yang sama sekali asing dan baru bagi dia. Namun imannya tidaklah segera menjadi besar ketika Tuhan memanggilnya pertama kali. Kisah dalam Kejadian 12:1 bukanlah panggilan Tuhan yang pertama kepada dia. Jika kita membaca Alkitab dengan teliti, kita akan menemukan bahwa ia berangkat ke Kanaan dalam Kejadian 12:4 dari kota Haran, Kejadian 11:31. Bukan dari Ur, negeri dari mana Abraham datang sebelumnya. Haran, dalam Kejadian 12 adalah lokasi yang praktis sudah separuh jalan jaraknya ke Kanaan dari Ur. Abraham tiba disana karena Terah, ayahnya, yang membawa ia keluar dari Ur, Kejadian 11:31. Dan ia macet, terhenti disitu sampai ayahnya meninggal, Kejadian 11:32.
Perhatikan bahwa Stefanus yang dirajam batu dalam Kisah Para Rasul 7, ayat 2-4 menjelaskan kepada kita bahwa Abraham telah dipanggil Tuhan sejak di Mesopotamia, di Ur. Uniknya, panggilan Abraham dalam Kisah 7:3 ini persis sama dengan Kejadian 12:1.
Kisah 7:3,
Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.
Kejadian 12:1,
Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;
Tetapi mengapa dalam Kejadian 11:31 justru Terah yang membawa Abraham keluar dari Ur? Karena Abraham takut. Ya betul Tuhan bisa memakai orang lain menolong Abraham keluar dan dalam hal ini ayahnya sendiri, Terah yang membawanya keluar. Tapi sejak awal Tuhan sudah memanggil Abraham keluar bukan saja dari negerinya, tetapi juga dari sanak saudaramu. Dari keluarga Abraham, termasuk lepas dari orang tuanya. Betul, Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi kedua orang tua kita, Ulangan 5:16. Tapi jika kita tidak cukup berani untuk lepas dari mereka demi menjawab panggilan Tuhan, justru orang tua kitalah yang akan menjadi penghalang mencapai kemaksimalan panggilan Tuhan dalam hidup kita. Tidak heran jika Yesus berkata dalam Lukas 14:26, Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, … ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
Demikianlah kisah Abraham yang akhirnya terhenti di Haran, panggilannya macet! Mengapa demikian, karena yang dipanggil keluar dari Ur itu adalah Abraham dan bukan Terah. Jika Abraham baru keluar setelah Terah keluar, maka ia akan terhenti di tempat yang bukan menjadi tujuan Tuhan bagi dirinya. Dan dalam perkara ini, Haran adalah tempat dimana Abraham terhenti. Perhatikan, Kejadian 12:1 baru akan ada setelah Terah mati dalam Kejadian 11:32. Ya, Tuhan berhenti berbicara kepada Abraham sampai ayahnya mati lebih dulu.
Ketika Tuhan berfirman kembali kepadanya dalam Kejadian 12:1, firman-Nya sama, Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;
Kali ini Abraham akhirnya keluar dari Haran, melanjutkan perjalanannya menuju ke negeri yang tidak dikenalnya itu, ke tanah Kanaan. Namun, sekali lagi, mungkin karena ia takut, ia malah membawa anak saudaranya, Lot. Dan Lot is nothing but trouble untuk Abraham. Lot cuma adalah masalah bagi Abraham, Kejadian 13.
Bukan saja Abraham harus berani berjalan menuju ke negeri yang Tuhan janjikan padanya, tapi ia harus berani keluar dari “sanak saudara” nya. Dari ayahnya, dari kemenakannya. Ia harus berani berjalan menjawab panggilan-Nya, sendiri! Ya, Tuhan tidak memanggil Terah, Tuhan tidak memanggil Lot. Tuhan memanggil Abraham. Berhenti ajak orang lain, mulailah melangkah sendiri. Kalau kita tidak berani keluar sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjawab panggilan-Nya.
Abraham, seperti kebanyakn kita, juga belajar untuk taat. Harga yang harus dibayarnya termasuk sangat mahal. Ada banyak tahun-tahun yang hilang di Haran, tahun-tahun yang berlalu tanpa suara Tuhan. Haran mungkin bagus, makmur dan menyenangkan, tapi Abraham tahu dengan pasti bahwa bukan itu yang Tuhan janjikan padanya. Kesulitan yang dihadapinya dalam Kejadian 13 ketika Lot bangkit melawan dia, membuat Abraham sekali lagi harus angkat kaki terusir dari tempat yang ia pikir sudah menjadi bagiannya. Ya, ia sudah ada di tanah Kanaan itu. Bahkan dibagian terbaik dan paling subur di tanah Kanaan, ia justru terusir dari situ justru oleh keluarganya sendiri, oleh seseorang yang seperti anak bagi dia.
Baru ketika ia berani berjalan sendiri, Tuhan kemudian sekali lagi datang padanya dalam bagian terakhir Kejadian 13. Tuhan datang dan memperluas janji-Nya bagi Abraham. Ayat 14-18 berbunyi, setelah Lot berpisah dari pada Abram, berfirmanlah TUHAN kepada Abram: ”Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmu pun akan dapat dihitung juga. Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu.” Sesudah itu Abram memindahkan kemahnya dan menetap di dekat pohon-pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron, lalu didirikannyalah mezbah di situ bagi TUHAN.
Seperti kita, Abraham tidak lahir dengan iman super. Ia pun belajar menjadi taat dalam imannya kepada Tuhan. Ketaatan kita kepada firman-Nya akan membuat iman kita bertumbuh mengalahkan ketakutan kita. Dan dalam kasus Abraham, imannya tumbuh begitu rupa sampai ia sendiri dengan sangat berani, tanpa berpikir 2x, mengorbankan anaknya yang tunggal, Ishak, demi menjawab panggilan Tuhan yang memintanya dari padanya.
Ibrani 11:9-10, Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.
Iman Abraham tidak hanya membuat dia berani datang ke negeri yang tidak dikenalnya tapi iman yang sama itu juga yang membuat dia betah tinggal di tanah Kanaan itu. Alkitab bercerita bahwa sampai Abraham mati, ia tidak pernah berusaha settle, menetap dengan membangun rumah sebagai tempat kediamannya. Ia terus tetap tinggal didalam kemah. Demikian juga dengan anak dan cucunya, Ishak dan Yakub yang tetap terus tinggal dalam kemah sampai mereka mati. Di terjemahan yang lain, ayat 9 berbunyi seperti ini, dia hidup dengan iman sebagai seorang imigran di tanah perjanjiannya seolah-olah itu milik orang lain. Dia terus berjalan di negeri itu dengan tinggal di tenda bersama Ishak dan Yakub yang dibujuk bahwa mereka juga pewaris dari janji yang sama.
Kemah berbicara sebagai tempat tinggal sementara. Kemah adalah rumah bergerak. Suatu rumah yang mudah dan cepat dibongkar jika seseorang mau kembali melanjutkan perjalanannya. Dan mudah serta cepat dipasang kembali jika berhenti. Tapi kemah juga menunjukkan bahwa Abraham telah memelihara imannya begitu rupa untuk selalu siap sedia mengikuti panggilan Tuhan kemana ia dibawa pergi. Kemah menunjukkan bahwa Abraham sangat memilih Tuhan dan rencana-Nya lebih dari pada being settle, menetap dan menjadi puas. Kemah menunjukkan bahwa telah siap senantiasa kapan saja Tuhan memanggilnya. Mungkin benar bahwa tahun-tahun yang habis percuma di tanah Haran telah mengajar Abraham bahwa ia tidak ingin lagi kehilangan suara Tuhan hanya karena ia berhenti dan menjadi nyaman.
Atau memang benar seperti yang disebutkan dalam ayat 10 Ibrani 11 ini, bahwa Abraham melakukan semuanya ini karena ia menjaga matanya terus memandang kepada kota yang tidak kelihatan itu, kota yang dasarnya abadi—Kota yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan sendiri. Ya, Abraham mempunyai mata iman yang bisa melihat dengan jelas Kota yang akan datang itu, Yerusalem baru, Wahyu 21. Sebagai orang percaya, kita seringkali lupa bahwa Tuhan telah menyediakan rumah bagi kita, Tuhan telah menyediakan tempat yang lebih baik dari dunia kita sekarang ini, Yohanes 14. Iman kita terhenti, menjadi macet di dunia ini, karena segala macam berkat jasmani dan kebajikan-Nya yang kita alami disini. Kita menjadi nyaman dan tidak mau meninggalkan rumah fana kita. Padahal semuanya yang disini hanyalah titik awal dari berkat yang sebenarnya yang jauh-jauh-jauh lebih baik yang telah disediakan-Nya untuk kita.
Marilah kita, seperti Abraham, mau terus bertumbuh dalam iman kita, terus memilih Dia yang telah memanggil kita. Ada yang kekal yang telah disiapkan-Nya bagi kita. Namun kita harus belajar untuk berani meninggalkan yang fana ini.
Abraham dan Sara
Leave a Reply