Ya, Tuhan kita adalah seorang Rabi Yahudi. Dia bukan seorang pendeta Kristen seperti kebanyakan kita suka berpikir demikian. Dia seorang Rabi, seorang Yahudi dalam pengertian tradisi dan agamanya, bukan sesederhana dari suku bangsa mana Ia berasal. Dia yang dianggap memulai aliran baru dalam ajaran Yahudi oleh para Ahli Kitab dijaman-Nya, ajaran yang awalnya dikenal sebagai aliran atau pengajaran Jalan. Atau yang kita sebut sebagai The Way. Lambang yang dipakai pengikut Yesus pada awal-awal ini bukanlah salib, tapi justru goresan gambar berupa ikan.
Kita baru disebut Kristen pada Kisah Para Rasul 11:26, jemaat di Anthiokia lah yang pertama dipanggil demikian. Kristen punya pengertian pengikut Kristus. Dan dunia ke-Kristen-an sekarang sangat berbeda dengan dunia kekristenan di abad pertama. Apalagi jika dibandingkan dengan dunia orang Yahudi, sangat jauh berbeda. Kalau mau jujur, kita harus sadar bahwa Yesus tidak berasal dari dunia kekristenan yang kita kenal sekarang ini. Jadi jangan berasumsi Dia sama seperti kita pada umumnya. Ya, Dia seorang Hamba Tuhan. Tapi jangan berpikir Dia adalah seorang pendeta Kristen. Dia adalah seorang Yahudi dan dalam ke-Yahudi-an-Nya, Dia seorang Rabi.
Tulisan ini bukanlah tentang membantah ke-Ilahi-an ataupun ke-manusia-an Yesus. Dia Tuhan dan Dia juga yang telah menjadi Manusia itu, 2.000 tahun yang lalu. Tapi tulisan ini akan menjelaskan Siapa Dia sebenarnya dalam profesi dan apa yang dikerjakan-Nya bagi kita. Semoga kita semua makin mengasihi Dia dan makin mau menjadi serupa dengan-Nya.
Gambar diatas berasal dari website ini: My Jewish Learning
Coba perhatikan ayat ini, Lukas 4:17-21.
Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:
”Roh Tuhan ada pada-Ku,
(Yesaya 61:1-2)
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: ”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”
Momen dimana Tuhan selesai membacakan ayat-ayat diatas, adalah momen-momen dimana Ia baru saja memulai pelayanan-Nya dibumi ini. Tuhan mengutip Yesaya 61:1-2. Ya, Tuhan baru saja selesai dibaptis oleh Yohanes Pembaptis dalam Lukas 3:21, dan ayat 22, turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan setelah Ia dicobai dalam Lukas 4:1-13, ayat 14 berkata, dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea.
Nah, kita suka berpikir bahwa ketika Yesus berdiri hendak membaca dari Alkitab, dalam ayat 16, Ia seperti salah satu jemaat di gereja kita yang berdiri hendak membaca Alkitab dan membagi sesuatu, bersaksi atau sharing. Mungkin ini benar, paling tidak untuk momen yang sedang terjadi saat itu. Lagipula bukankah Yesus sedang ada didalam Sinagoga, sidang jemaat orang Yahudi, yang bagi kebanyakan kita yang awam sering kita sebut sebagai gerejanya orang Yahudi? Ayat 16, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat (Sinagoga). Lebih jauh lagi, karena pertentangan yang terjadi di momen-momen kemudian dengan para ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi, kita suka menganggap bahwa Yesus pastilah bukan salah satu dari mereka, bukan kaum terpelajar itu, bukan ahli kitab, bukan pendeta Yahudi. Pemahaman ini sebenarnya tidak salah, tapi seringkali kita menariknya terlalu jauh. Kesimpulan yang kita ambil justru mengaburkan siapa Yesus sebenarnya.
Coba perhatikan ini, jika seseorang berdiri didepan jemaat yang lain dan hanya bersaksi atau sharing, tentu hal itu diperbolehkan oleh yang punya gereja atau si pemimpin jemaat. Tidak mengapa kan, boleh-boleh saja. Karena orang itu bisa membagi berkatnya kepada yang mendengarkannya. Tapi tidak jika kesempatan yang diberikan adalah “mengambil bagian dalam pelayanan mimbar”. Kita semua tahu bahwa untuk berdiri membagikan Firman Tuhan, orang itu tidak boleh sekedar “awam”. Ia harus paling sedikit sudah lulus sekolah pelayanan, school of ministry. Atau paling tidak ia adalah seorang jemaat senior, telah bersama-sama dengan Pak Gembala untuk waktu yang lama. Punya hubungan yang dekat dengan yang diatas, yang punya gereja. Dekat dengan yang diatas disini, bukanlah dengan Tuhan yang saya maksudkan. Logikanya memang harus begitu, tapi seringkali yang terjadi adalah sekalipun orang itu dekat dengan Tuhan tapi tidak dekat dengan Pak Gembala, jangan harap orang itu bisa mendapat bagian di mimbar.
Ini baik karena tugas Gembala adalah memang menjaga kawanan dombanya dari diracuni oleh seseorang yang tidak dikenalnya, kan? Tapi kenapa kita sekarang berpikir bahwa hari itu Yesus bisa saja berdiri dan mengambil bagian dari “mimbar gereja”-Nya saat itu. Bukankah kita menganggap dia adalah seorang outsider, bukan kaum ahli Taurat, apalagi bukan kaum Farisi, bukan salah satu dari mereka? Apakah anda pikir Yesus bisa dengan begitu saja diberi kesempatan membacakan Firman Tuhan? Ayat 17, kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis.
Tentu saja, Sinagoga sangat berbeda dari gereja. Mereka tidak sama sama sekali. Sinagoga adalah pusat komunitas, suatu market place, tempat perpustakaan Taurat dan akan ada banyak orang yang duduk, berkumpul bersama mendengarkan ajaran para rabi serta berdiskusi dengan mereka. Apakah menurut Anda, Yesus hanyalah salah satu dari orang-orang biasa, yang tidak dikenal oleh para pemimpin Sinagoga yang kemudian menyerahkan gulungan kitab Yesaya kepada-Nya untuk dibaca? Tidak, mereka semua mengenal Dia. Dan karena mereka mengenal Dia dengan baik, mereka mengharapkan Dia memberikan bacaan yang baik sebagai Rabi muda yang sedang naik daun.
Perhatikan ini, Yesus memang bukan salah seorang dari golongan Farisi, atau Saduki. Bahkan bukan seorang Essenes, apalagi seorang Zelot. Ya, Yesus mempunyai seorang murid yang adalah seorang Zelot, Lukas 6:15, tapi dia sendiri bukan seorang Zelot. Namun yang jelas disini adalah Yesus seorang Rabi, seorang guru agama Yahudi. Itu sebabnya dalam Lukas 4:17, kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya. Tentulah pemimpin Sinagoga tidak akan sembarangan memberikan Dia sebuah kitab untuk dibacakan didepan jemaat Yahudi dalam pembacaan ritual kitab suci yang disebut K’riat haTorah atau קריאת התורה.
Jadi, Dia bukan sekedar orang awam, orang yang tidak terpelajar. Tapi juga dalam komunitas orang Yahudi, bisa dibilang hampir tidak ada orang awam, paling tidak di jaman Yesus. Anak-anak sejak muda mereka telah diajarkan Kitab Suci. Perintah TUHAN dalam Ulangan 6:7, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu, benar-benar dikerjakan dalam komunitas orang Yahudi. Bukan cuma itu, mereka terbiasa menghafalkan ayat-ayat kitab suci sejak muda mereka. Bukti bahwa Yesus sempat beradu pikiran dalam Bait Allah waktu Ia berumur 12 tahun, menunjukkan bahwa orang tuanya telah mengajarkan Dia tentang Kitab Suci dengan baik.
Lukas 2:46-47, Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya.
Ya, Yesus dikenal baik oleh para pemimpin Sinagoga di Galilea.
Lukas 4:22, Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: ”Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
Matius 13:54-57, Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.
Dan justru karena mereka mengenalnya dengan baik, mereka menjadi kecewa menemukan klaim Yesus sebagai Mesias itu, Lukas 4:21.
Ada banyak ayat yang menyebutkan bagaimana Tuhan dipanggil Rabi oleh banyak orang, bukan cuma oleh murid-murid-Nya. Jadi tidaklah heran jika dalam Lukas 4:17, Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya. Ya, pemimpin Sinagoga itu mengharapkan adanya pembacaan K’riat haTorah yang luarbiasa saat itu dari seorang Rabi muda yang mulai populer ini.
- Dalam Yohanes 3:2, Yesus dipanggil sebagai Rabi oleh Nikodemus. Seorang ahli Taurat yang datang bertukar pikiran dengan Tuhan diwaktu malam tentang kelahiran kembali.
- Juga dalam Yohanes 8, mereka yang berusaha menjebak Tuhan dengan membawa perempuan yang tertangkap berzinah, memanggil Tuhan, Rabi. Yohanes 8:4, lalu berkata kepada Yesus: ”Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.” Rabi, atau Rav ( רב ) adalah panggilan terhormat dalam komunitas Yahudi. Jika memang Yesus sendiri bukanlah seorang Rav, maka musuh-musuhnya yang pertama yang tidak akan memanggil dia demikian. Bahkan klaim Dia sebagai Rabi akan jadi bulan-bulanan mereka yang terutama. Dan seandainya kita menyimak baik-baik akan apa yang dituliskan Injil tentang perseteruan mereka dengan Yesus, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan ke-Rav-an Tuhan, yang mereka permasalahkan adalah klaim Yesus sebagai Tuhan (Anak Tuhan, Mesias, Yang diurapi).
- Dan Ia bukan hanya dipanggil sebagai Rabi, tapi seperti setiap Rabi Ia berjalan mengerjakan pelayanan dan pemuridan-Nya memakai selendang sembahyang yang ujungnya berjumbai (Terjemahan Baru Indonesia). Jumbai ini bukan sekedar seperti ujung kain yang tidak dijahit, yang lepas terurai, berjumbai. Tapi adalah suatu simpul, suatu ikat benang atau tali, suatu rumbai ritual yang diikat begitu rupa dalam tradisi agama Yahudi, terikat pada 4 ujung selendang doa itu. Ini yang disebut dengan Tzitzit. Perhatikan Lukas 8:44, Ia maju mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya, dan seketika itu juga berhentilah pendarahannya. Jadi perempuan itu bukan sekedar menyentuh kain jubah atau selendang Tuhan, ia memegang Tzitzit itu, tzitzit yang biasa digenggam Tuhan ketika Ia berdoa dalam ritual doa-Nya sebagai seorang Rabi. Dari situ kuasa doa yang menyembuhkan itu mengalir keluar!
- Salah satu tanda lain bahwa Yesus adalah seorang Rabi Yahudi ialah bahwa Dia membuat pagar Taurat. Matius 5:27-28, Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Pernyataan Tuhan, Tetapi Aku berkata kepadamu, disebut sebagai pagar Taurat dan hanya seorang Rabi yang punya kapasitas berkata demikian, bukan seorang awam. Bahkan ketika Yesus berkata demikian, Ia mengucapkannya bukan dalam kapasitas-Nya sebagai Anak Allah, tapi sebagai Rabi Yahudi, Pengajar Israel.
Tentu di Injil sendiri, tidaklah jelas siapa yang menjadi Guru Yesus dalam hal ini. Karena seperti Paulus yang berguru pada Rabi Gamaliel, Kisah Para Rasul 22:3, Yesus tentunya tidaklah mungkin menjadi Rabi dengan sendirinya. Bisa jadi karena kecerdasan Yesus sendiri, Lukas 2:47, tidak ada Rabi saat itu yang bisa dengan berani mengklaim Yesus sebagai murid-Nya. Apalagi jika mereka semua tahu akan klaim Rabi muda ini sendiri akan siapa Dia sebenarnya. Ya, memang demikian dengan kehidupan itu. Jika kita berhasil, banyak orang suka menyebut diri mereka adalah Guru kita. Namun jika kita dianggap gagal, semua ramai-ramai menutup diri.
Tapi yang jelas, peranan Yusuf dan Maria mendidik Yesus mengambil peranan yang sangat penting. Saya akan membahas mereka lebih jauh dalam tulisan saya berikutnya.
Banyak yg bertanya-tanya dimana Yesus diantara usia 12-30 tahun. Kita suka berpikir bahwa saat-saat itu Ia sedang menggantikan ayah-Nya didunia, Yusuf si tukang kayu, yang dipercaya telah meninggal di usia muda, sebagai tukang kayu. Tapi kemungkinan besar justru di tahun-tahun ini ia sedang dididik begitu rupa untuk menjadi seorang Rabi.
Ya, jadi Dia seorang Rabi Yahudi. Seorang yang terdidik dalam Kitab Suci, dalam Torah, Kitab Puji-pujian, dan Kitab Para Nabi. Bukan seorang yang tidak terpelajar yang sekedar diurapi oleh Roh Kudus, bukan seorang awam yang tidak mengerti arahan ayat-ayat Kitab Suci dan bersandar hanya pada tuntunan roh. Saya memakai huruf kecil dalam tulisan roh disini karena seringkali mereka yang berjalan “hanya dengan roh” tanpa punya pengalaman yang dalam dengan Firman Tuhan (dan menolak untuk belajar Firman Tuhan) akan menemukan diri mereka dituntun bukan lagi oleh Roh Tuhan tapi roh yang dari Tuhan saja, baca 2 Tawarikh 18:18-22.
2 Tawarikh 18:20-21, Kemudian tampillah suatu roh, lalu berdiri di hadapan TUHAN. Ia berkata: Aku ini akan membujuknya. TUHAN bertanya kepadanya: Dengan apa? Jawabnya: Aku akan keluar dan menjadi roh dusta dalam mulut semua nabinya. Ia berfirman: Biarlah engkau membujuknya, dan engkau akan berhasil pula. Keluarlah dan perbuatlah demikian!
Ya, jadi Dia seorang Rabi Yahudi. Dia adalah seorang yang dianggap setara oleh sesama Ahli Taurat untuk bisa dipercayakan mimbar Sinagoga dan dipanggil dengan penuh hormat karena ke-kredibilitas-nya sebagai seorang pengajar Israel.
Kita saja yang sering punya asumsi salah tentang Dia.
Dia bukanlah seorang gampangan, seorang rendahan, hanya karena Ia mau duduk makan dengan orang berdosa dan pemungut cukai, Lukas 5:29. Ia seorang yang rendah hati. Bagi orang Yahudi, dengan siapa mereka duduk makan menentukan harga diri mereka. Bagi Yesus, siapa Dia tidaklah ditentukan oleh siapa yang duduk makan dengan Dia.
Dia juga bukan seorang yang tidak tahu adat hanya karena Dia membiarkan murid-murid-Nya makan tanpa cuci tangan. Markus 7:5. Dia hanya menentang kebiasaan dan adat yang tidak perlu dari tradisi orang Yahudi yang disetarakan seperti Firman Allah sendiri.
Jadi Yesus juga adalah seorang ahli taurat, seorang guru Yahudi, seorang Rav, Rabi. Cuma memang Dia bukan berasal dari golongan Farisi. Farisi adalah golongan ahli Taurat yang berasal dari Yudea, Yerusalem dan sekitarnya. Area metropolitan yang menjadi tempat perkumpulan kalangan atas. Yesus berasal dari Nazaret, dari Galilea. Area masyarakat bawah, para nelayan. Tempat dimana gerakan Zelot bermula, tempat awal pemberontakan Makabe terhadap Roma berasal. Ada dugaan yang kuat bahwa Yesus adalah Rabi yang berasal dari golongan Hasidim. Sebuah golongan ahli taurat yang berasal dari area Galilea.
Ya, golongan Hasidim ini sebenarnya berhubungan erat dengan golongan Farisi. Mereka sama-sama ahli Taurat. Tapi golongan Farisi memberi penekanan pada pentingnya ritual dan upacara, apa yang tampak diluar. Sedangkan golongan Hasidim memberi penekanan pada pentingnya manusia yang melayani Tuhan itu, kasih terhadap sesama. Hasidim sangat mementingkan issu-issu dengan hati manusia, apa yang keluar daripadanya. Kelompok Hasidim ini sendiri dikenal sebagai pembuat mujizat. Ada 2 tokoh yang cukup dikenal dari kelompok Hasidim ini, Honi HaMe’agel (Honi, si pembuat lingkaran) & Hanina ben Dosa.
Salah satu ciri utama golongan Hasidim ini adalah keberanian mereka meninggalkan dunia, menjadi miskin, untuk mengabdi kepada Tuhan. Ini yang menyebabkan golongan Farisi menjadi lebih populer dikalangan perkotaan, metropolitan, di area Yudea dan Yerusalem. Karena mereka justru suka memperkaya diri mereka sendiri dan menganggap diri mereka tinggi. Golongan Hasidim ini lebih bisa diterima di area Galilea, di Nazareth, dikalangan masyarakat bawah.
Pengajaran Yesus sebagai Rabi Israel berusaha membawa kembali Firman Tuhan yang murni sesuai dengan Kitab Suci. Tuhan mengesampingkan semua adat dan tradisi Yahudi dijaman-Nya dan menekankan pentingnya Firman Tuhan itu sendiri melebihi semuanya. Seperti ketika Ia seringkali menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Tuhan tidak sedang menyangkal pentingnya Sabat, tapi Ia sedang menunjukkan bahwa mengasihi dan menolong sesama bukanlah melanggar Sabat ketika dikerjakan di hari Sabat. Dalam adat dan tradisi Yahudi, mereka diharuskan memelihara Sabat sesuai dengan Firman Tuhan. Mereka sama sekali tidak boleh bekerja pada hari itu. Termasuk segala sesuatu yang jatuh pada kategori “berusaha” didefinisikan sebagai kerja. Seperti mengangkat tilam, memikul gulungan tikar. Yohanes 5:8-9, semuanya itu tidak boleh dan melanggar Sabat menurut tafsiran Taurat mereka. Hal-hal yang praktis seperti ini kemudian menjadi penghalang untuk menolong orang yang sakit menurut Yesus. Padahal Tuhan sendiri menunjukkan bahwa jika ada domba mereka yang terperosok jatuh dilubang pada hari Sabat, Matius 12:11, mereka pun tetap akan ikut turun ke lubang dan mengangkat domba itu keluar. Mereka tidak menunggu sampai keesokan harinya. Bukankah itu juga termasuk kategori kerja yang dilarang pada hari Sabat? Jadi kenapa menolong sesama manusia tidak boleh sedangkan menolong domba diperbolehkan? Bukankah manusia lebih berharga, Matius 12:12.
Praktek-praktek Yahudi seperti ini tetap banyak terjadi dalam dunia keKristenan sekarang. Seringkali banyak pendeta yang menganggap peraturan gereja dan organisasi sangat penting untuk ditaati melebihi Firman Tuhan itu sendiri. Atau mereka suka melihat tradisi Kristen suatu daerah lebih diutamakan melebihi kasih kepada sesama. Jika kita mau jujur melihat lebih jauh kenapa ini terjadi, alasannya adalah politik dalam berorganisasi. Persaingan dan kecemburuan.
Ketika Tuhan berkata rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali, Yohanes 2:19. Tuhan bukan sekedar berbicara tentang kematian dan kebangkitan-Nya, ayat 21-22. Tapi Ia sedang membantah nilai-nilai adat dan tradisi golongan Farisi saat itu yang lebih mementingkan lokasi dan gedung ibadah dari pada ibadah itu sendiri. Praktek yang sama yang juga masih terjadi sampai sekarang dalam dunia keKristenan, dimana kita seringkali suka mendefinisikan gereja sebagai tempat ibadah, lokasi, dan gedung itu sendiri. Kita lupa bahwa kitalah gereja, tubuh kita adalah Bait Tuhan itu sendiri. Kita marah ketika gereja dibakar, tapi tidak keberatan jika kita mereka merusak tubuh kita dengan makanan atau kebiasaan buruk!
Banyak kali kita selalu melihat Firman Tuhan menurut kacamata kita sendiri, menurut asumsi kita yang seringkali lahir karena laterbelakang dari mana kita berasal, apa yang kita pahami dan dengar sebelumnya. Apalagi kalau adat dan tradisi Kristen kita memberi pengaruh yang sangat kuat, belum ditambah dengan kuatnya peraturan Gereja dan organisasi yang dipegang. Kita sukar untuk berpikir terbuka dan lebih sering telah mengkotak-kotak pemikiran kita sendiri tanpa berusaha mencari lebih jauh apa arti akan sesuatu yang kita pikir kita sudah mengerti.
Kalau kita tahu bahwa Yesus sendiri adalah seorang Rabi, seorang guru Yahudi, kita seharusnya paham bahwa kita pun harus terus belajar akan Firman Tuhan, menggali kebenaran Kitab Suci dengan benar. Apalagi kalau kita bisa melihat bagaimana Yesus dari kecil telah mempesona para ahli-ahli kitab karena pengetahuannya akan Firman Tuhan. Ini menunjukkan bahwa sangatlah penting bagi kita untuk mempraktekkan Ulangan 6:7, bagaimana kita harus bisa mengajarkan Firman Tuhan sejak dini kepada anak-anak kita. Tidak sekedar menyerahkan mereka seminggu sekali kepada para guru sekolah minggu, kita sendiri sebagai orang tua harus menjadi imam dan guru Kitab Suci bagi mereka.
Namun bagaimana kita bisa mengajar mereka jika kita sendiri tidak mau belajar Firman Tuhan. Apa yang bisa kita bagikan atau ajarkan jika kita sebagai orang tua sendiri “kosong”? Belajar, terutama mempelajari Firman Tuhan, sebenarnya tidak pernah terlambat. Mari kita mulai belajar, mungkin dengan sesuatu hal yang sederhana lebih dahulu: membaca Alkitab kita. Jika kita berpikir banyak yang kita tidak mengerti, itu adalah dasar permulaan yang baik dimana kita bisa mulai menggali lebih dalam. Bukan menjadi dalih untuk tidak mulai membaca. Lagipula bobot kita ditentukan dengan apa yang mengisi kehidupan kita kan? Bukan gelar, bukan harta, bukan posisi kita. Itu semua cuma “pakaian luar kita”.
Ya, Tuhan pasti bisa memakai kita walau kita tidak berpendidikan. Tapi ini seringkali berarti bahwa pemakaian Tuhan dalam diri kita juga menjadi terbatas dalam hal-hal tertentu. Kita sendiri harus terus bisa mengimprovisasi diri, belajar terus. Bukankah itu berarti punya telinga seorang murid? Banyak orang Pentakosta dan Karismatik yang terlalu menekankan pada pengalaman roh, sampai seringkali tersesat sendiri karena banyaknya pengertian yang salah. Apalagi karena seringkali manifestasi roh yang sangat dramatis suka dianggap yang paling super sendiri. Tidak salah untuk belajar, bukankah anda mengenal Tuhan kita sekarang (setelah membaca tulisan ini) sebagai Rabi? Suatu gelar yang didapatkan bukan karena kepenuhan-Nya oleh Roh Kudus, tapi karena Ia telah belajar Kitab Suci sejak kecilnya.
Suatu contoh sederhana. Jika kita hanya bisa berbahasa Indonesia, pengetahuan yang kita dapatkan jika rajin membaca adalah cuma dari sumber-sumber bahasa Indonesia atau paling tidak yang telah diterjemahkan. Jika kita bisa berbahasa Inggris, tentunya kita punya nilai lebih sebab kita bisa belajar dari sumber yang berbeda karena penguasaan bahasa yang kita miliki. Lagipula wawasan kita jelas menjadi lebih luas dan kesempatan yang bisa terbuka akan lebih lapang. Memang betul, Tuhan bisa membuat kita berbahasa Inggris tanpa belajar, dengan mujizat. Ini bukan suatu hal yang mustahil. Tapi berapa banyak dari kita yang bisa mengalami hal ini? Bukankah lebih banyak yang tidak menemukan mujizat itu dan justru tetap harus membayar harga dengan duduk belajar meningkatkan diri? Jangan menghibur diri dengan menganggap bahwa Yesus bukan seorang terpelajar hanya karena Ia bergaul banyak dengan orang tidak terpelajar. Ia seorang yang sangat berpendidikan, sebutannya sebagai Rabi punya tingkatan yang sama dengan banyak gelar yang ada dalam dunia pendidikan sekarang ini.
Kembali pada keRabian Yesus, tidaklah mengherankan jika golongan Farisi dan ahli Taurat dijaman Yesus, banyak dari mereka, merasa sangat dikhianati oleh Tuhan. Sebab mereka melihat Yesus sebagai Rabi seperti mereka tapi menemukan bahwa Yesus justru berada dipihak yang menentang tradisi dan penafsian mereka akan Kitab Suci. Mereka merasa sangat terancam menemukan pada Rabi muda pemberontak ini memperoleh massa yang lebih besar dari mereka. Mereka tidak menyukai ketika menyadari bahwa orang banyak justru sekarang lebih mendengarkan Rabi Yesus dari pada mereka yang menurut tingkatan jabatan Rabi lebih tinggi dari Rabi Yesus sendiri. Parahnya, Yesus bisa mengadakan mujizat sedangkan mereka tidak sama sekali. Mereka ketakutan karena mereka tahu bahwa orang banyak mulai mengenali bahwa TUHAN tidak ada pada mereka sekalipun mereka menyandang gelar Ahli-ahli Kitab Suci. Coba perhatikan, tidakkah itu kedengaran seperti yang sedang terjadi hari-hari ini di Gereja Tuhan sendiri?
Tidak heran jika pada akhirnya banyak orang Farisi dan ahli Taurat ini ingin melenyapkan Dia. Dan mereka berhasil melakukannya melalui tentara Romawi yang menyalibkan Dia. Itu satu-satunya cara menghentikan Dia dan menjadikannya contoh kepada orang banyak bahwa golongan agamawis ini tidak boleh ditentang sama sekali. Yesus dianggap melahirkan ajaran baru (yang disebut Jalan, atau the Way) di abad pertama. Padahal jika mereka mau jujur, merekalah yang telah membuat “aliran baru” karena penyimpangan yang terjadi dalam ajaran Yahudi. Penyimpangan besar karena pengaruh tradisi dan penafsiran yang salah (yang menekankan pada hal-hal lahiriah). Begitu menyimpang sehingga ketika Yesus berusaha mengembalikan apa yang seharusnya, Ia justru dianggap pengkhianat. Ia dianggap melahirkan aliran baru.
Ya, mari kita kembali pada kemurnian Firman Tuhan. Mari kita belajar, menyelidiki dengan cermat, rajin menggali kebenaran Firman Tuhan. Tidak sekedar bergantung pada tradisi dan kebiasaan kita sebagai orang Kristen. Jangan terpaku, jangan berhenti ketika kita mendengar ada yang berkata, oh itu tidak biasa disini. Oh, bukan begitu aturannya di gereja ini. Jangan sampai kitapun terjebak dengan situasi “Farisi dan Ahli Taurat”. Yesus dalam ke-Rabi-an-Nya membawa kita semua kembali kepada kemurnian Kitab Suci, suatu jalan yang kitapun harus teladani dijaman sekarang ini. Amin.
Tulisan ini dipersembahkan untuk mendiang Dr. Dwight Pryor yang melalui pengajarannya saya sedang terus belajar banyak tentang Yesus sebagai seorang Rabi Yahudi.
Saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih saya kepada Robert Bleakney, Anthony Cheah, dan Simon Katimin atas kontribusi mereka dalam penulisan ini. Semoga kita semua mengenal Dia lebih baik setiap hari!
ALe
Memang benar bahwa DIA adalah Rabi. Sebuah tulisan dengan memberi keterangan yang mencerahkan semua umat Kristen.