Ada 2 janda yang berkata demikian di Perjanjian Lama, sisa sebuli-buli minyak dalam rumahku. Satunya janda di Sarfat yang juga menyebutkan ia mempunyai segenggam tepung dan satunya lagi janda di jaman nabi Elisa. Kedua janda ini mengalami kesulitan yang kurang lebih sama, mereka sangat membutuhkan pertolongan. Kedua-duanya kemudian mengalami mujizat yang luarbiasa, namun hasil akhir janda dijaman Elisa kelihatan lebih bagus karena bukan hanya anak-anaknya tidak mengalami kecelakaan (tidak diambil oleh penagih utang), tapi juga ia bisa disebut menjadi pedagang minyak. Sedangkan si janda Sarfat harus hidup dari hari ke sehari sampai kelaparan selesai dan anaknya sempat mengalami kematian. Kisah janda di Sarfat ini ada di 1 Raja-raja 17:8-16 dan janda dijaman Elisa ada di 2 Raja-raja 4:1-7.
Dalam konteks seorang nabi yang ditolak dirumahnya sendiri, Yesus berkata dalam Lukas 4:25-26 bahwa pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Ya, Elia tidaklah diutus menolong banyak janda di Israel saat itu, hanya kepada seorang janda di Sarfat. Suatu tempat yang punya arti pemurnian oleh api, refining. Hal ini menunjukkan bahwa walau Israel adalah pilihan Tuhan, Tuhan juga tetap memperhatikan bangsa-bangsa lain. Pilihan Tuhan ini seringkali terjadi bukan karena sesuatu yang ada didalam diri kita, tapi semata-mata karena anugerah dan kasih karunia-Nya. Roma 9:14-16, Maleakhi 1:2-3.
Sebagai manusia, kita suka mencari alasan untuk membenarkan pilihan Tuhan atas seseorang, kita akan berusaha mencari apa kelebihan orang itu, apa kebaikannya untuk bisa terpilih oleh Tuhan. Jikalau saja kita mau jujur melihat dengan sebenarnya, bukan berdasarkan asumsi atau konsep berpikir yang sudah terbentuk sebelumnya, kita pun akan bertanya seperti dalam Roma 9:14, apakah Allah tidak adil? Tentu jawabannya tidak, dan apakah yang bisa kita ucapkan lagi? Dia berdaulat.
Pernyataan janda di Sarfat, demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, dalam ayat 12 1 Raja-raja 7 ini, sama sekali bukanlah suatu pengakuan imannya kepada Tuhan Israel. Akhiran -mu pada kata Allahmu, menunjukkan bahwa ia tidak memeluk agama Israel dan ia tidak berada dipihak Elia. Kata demi Tuhan pun, pada awal kalimat ini, lebih kedengaran sebagai sumpah (berusaha jujur) si janda kepada Elia yang datang meminta roti (ayat 11) dan bukan hanya air minum (ayat 10) dari padanya. Perlu diperhatikan bahwa ketika Elia datang meminta roti dan minum ini, daerah Sidon juga sedang mengalami dampak yang sama yang dialami Israel, 3,5 tahun masa kekeringan. Semua menjadi susah, bukan hanya karena tidak ada air, tapi makanan sangat berkurang dan kondisi ekonomi daerah itu menjadi sangat terpuruk. Artinya, segala sesuatu menjadi sangat mahal karena suplai barang yang sedikit menjadi kesempatan menjual kepada penawar yang lebih tinggi. Si janda Sarfat ini sangat merasakan hal tersebut, kelihatan jelas dari penyataannya dalam ayat 12 ini. Bahwa demi TUHAN, Allahmu, yang hidup (ia berusaha berkata jujur bahwa), sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api (ini usahanya yang terakhir), kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku (karena tidak ada apa-apa lagi yang saya punya), dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.
Seperti kata Yesus, Elia diutus untuk menolong dia. Tapi untuk menolong janda ini, si janda harus berbuat sesuatu dulu, menolong Elia. Mungkin kita berpikir, kalau mau menolong orang, ya ditolong aja, tidak usah macam-macam yang lain. Namun coba perhatikan beberapa hal berikut. Janda ini hidup diluar wilayah Israel, diluar tanah Kanaan, tanah yang disebut berlimpah susu dan madu. Kalau tanah Kanaan sendiri yang seharusnya diberkati berlimpah-limpah mengalami kekeringan dan kelaparan, bayangkan area-area tetangga tanah itu. Janda itu sendiri jelas bukan orang Israel, umat pilihan Tuhan. Seorang yang asing, atau dengan kata lain bukan seorang yang percaya. Ya, tapi Tuhan sedang berbelas kasih padanya dengan mengutus Elia. Bahkan lebih jauh, Tuhan sendiri sudah berbicara kepada janda di Sarfat ini terlebih dahulu. 1 Raja-raja 7:8, menyebutkan bahwa perintah Tuhan kepada Elia untuk ke Sarfat diikuti oleh suatu perintah yang sudah lebih dahulu diberikan Tuhan sendiri kepada janda di Sarfat ini. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.
Jadi Tuhan sendiri sudah berbicara langsung kepada si janda, bagaimana? Kita selalu terpesona mendengarkan Tuhan berbicara kepada seseorang, kita mau tahu bagaimana caranya? Bahkan orang yang berkata Tuhan berbicara kepada saya, seringkali menyebutnya dengan penuh kebanggaan. Seakan-akan dia telah menjadi begitu rohani sampai yang Ilahi jauh diatas mau turun membisikkan sesuatu padanya. Padahal, perkataan Tuhan yang datang akan selalu datang dengan suatu harga yang harus dibayar, ketaatan. Kehebatan mendengar suara Tuhan tidak akan nyata kecuali yang mendengarnya taat! Dan banyak kali taat mendengarkan-Nya tidak sesederhana berbelok dari suatu arah dan mengubah tujuan, tapi akan melibatkan sesuatu hal yang harus dilepaskan dalam ketaatan itu. Dan banyak dari kita yang tidak akan mau! Seperti janda itu, kita sebenarnya bisa dengan mudah mendengarkan suara-Nya. Tapi juga seperti janda itu, hanya sedikit yang mau mematuhi-Nya. Perhatikan, kalau Ia berbicara, itu bukan untuk kepentingan kita tapi untuk kepentingan-Nya. Namun jika kita taat, kita yang akan menerima upah-Nya. Itu prinsip mendengarkan suara-Nya.
Makanya si janda harus lebih dahulu menolong Elia kalau ia mau ditolong. Ia harus memberi lebih dahulu. Bukankah tidak ada yang bisa dituai jika kita tidak belajar menabur lebih dahulu. Petani pun mengerti hal ini. Apa yang bisa mereka tuai, jika mereka hanya berdiam diri dalam rumah, bermalas-malasan, tidak berbuat sesuatu. Kalau mereka mau mengumpulkan tuaian, mereka harus menabur lebih dahulu. Atau adakah petani yang bisa mendapat sesuatu dari sawahnya atau ladangnya hanya dengan menumpangkan tangan atas tanah itu tanpa menaburkan benih atasnya? Kita rupanya lebih suka berdebat akan perlu tidaknya memberi perpuluhan. Masalahnya bukan pada perpuluhannya, karena walau anda tidak setuju anda tetap harus memberi kan? Jikalau anda berhenti memberi, perpuluhan atau bukan, jangan berharap untuk tuaian atau bahkan terobosan. Sebab tidak ada yang bisa diharapkan tumbuh untuk dituai jika tidak ada yang ditabur. Lagipula Paulus berkata, dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu. Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Galatia 6:6-9.
Lagipula, apa yang diminta Elia tidak besar. Awalnya memang ia hanya meminta air, 1 Raja 17:10. Lalu kemudian ia meminta roti di ayat 11. Dalam bahasa Indonesia, ia meminta sepotong roti. Dalam bahasa asli Perjanjian Lama, bahasa Ibrani, ia meminta hanya sekeping, suatu potong, pecahan dari sebuah roti. Bukan satu roti utuh yang dimintanya. Permintaannya hanya bersifat suatu sedekah, sesuatu yang seharusnya bernilai sangat kecil walau untuk seorang janda yang punya satu roti. Roti dijaman itu, didaerah Sidon dan Israel, bukanlah seperti roti dijaman sekarang. Roti yang ada isinya, atau roti tawar, yang kebanyakan ukuran dan bentuknya seperti yang disebut roti kebanyakan di toko-toko roti. Roti dijaman itu lebih berupa suatu adonan kue bundar, pipih seperti roti martabak atau adonan pipih yang menjadi alas pizza. Elia meminta hanya sepotong keping dari roti sisa satu yang akan dibuat oleh si janda dari sisa segenggam tepung dan sebuli-buli minyak. Elia bahkan tidak meminta sisa satu roti yang terakhir yang akan dibuatnya itu. Apa yang dimintanya tidaklah senilai 2 peser uang yang dipunya seperti persembahan janda di jaman Yesus, Lukas 21:1-4. Hanyalah a fraction! Dengan kata lain, Elia sedang berkata, bagilah apa yang kau punya kepadaku juga. Ia keberatan!
Dalam 2 Raja-raja 4, janda di jaman nabi Elisa punya respon berbeda menghadapi kesulitannya. Ayat 1-3 berbunyi demikian, salah seorang dari isteri-isteri para nabi mengadukan halnya kepada Elisa, sambil berseru: “Hambamu, suamiku, sudah mati dan engkau ini tahu, bahwa hambamu itu takut akan TUHAN. Tetapi sekarang, penagih hutang sudah datang untuk mengambil kedua orang anakku menjadi budaknya.” Jawab Elisa kepadanya: “Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah.” Berkatalah perempuan itu: “Hambamu ini tidak punya sesuatu apapun di rumah, kecuali sebuah buli-buli berisi minyak.” Janda ini adalah istri seorang nabi (hamba Tuhan) yang telah meninggal. Si almarhum mati meninggalkan banyak hutang, istri dan anak-anaknya harus menanggung hal tersebut. Debt collector sedang datang untuk mengambil 2 anaknya ganti utang mereka. Elisa lalu bertanya apa yang dipunyainya dirumah, tidak ada sesuatu apapun, kecuali sebuah buli-buli berisi minyak.
Lanjut baca...
Waktu Elisa bertanya, ia memang tidak meminta sesuatu dari janda ini lebih dahulu seperti Elia. Tapi yang perlu diperhatikan disini, janda ini bukan hanya sekedar seorang Israel, umat pilihan Tuhan, ia juga istri seorang hamba Tuhan, istri seorang nabi, salah satu bekas murid Elisa sendiri. Jadi tentu, sekalipun tidak tertulis, harga yang ia bayar terlebih dahulu menjadi (atau sebagai) seorang istri nabi, sudah jauh lebih besar dari sekedar berbagi makanan seperti yang diminta Elia kepada si janda Sarfat. Bagaimana ia menjadi istri dari seseorang yang menjawab panggilan Tuhan untuk melayani Dia dan meninggalkan segala sesuatu yang lain. Kita juga tidak bisa sekedar menghakimi mereka kenapa mereka terlilit hutang kemudian. Kadang kala ada banyak hal yang tidak kita ketahui kenapa sampai mereka jatuh dalam hutang piutang, apalagi dengan seorang lintah darat. Yang pasti, jika kita berhutang, kita harus membayar hutang tersebut. Tidak membayar hutang, hanya dengan alasan kita miskin dan tidak punya apa-apa adalah hal yang salah dihadapan Tuhan. Utang (tetap) harus dibayar. Jika tidak mau jatuh dalam situasi seperti ini, jangan berhutang sejak awal.
Elisa tidak menyuruh mereka lari atau berusaha menyembunyikan mereka, tapi ia memberinya suatu solusi yang menarik. Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah, ayat 2. Selanjutnya ia menyuruh si janda pergi meminta bejana-bejana kosong dari semua tetangganya. Dan jangan terlalu sedikit, ayat 3. Kemudian masuklah, tutuplah pintu sesudah engkau dan anak-anakmu masuk, lalu tuanglah minyak itu ke dalam segala bejana. Mana yang penuh, angkatlah! 2 Raja-raja 4:4.
Menariknya, walau apa yang dipunya janda ini sisa sebuli-buli minyak, Elisa menyuruhnya mengumpulkan bejana-bejana kosong tidak sedikit. Jangan terlalu sedikit, kedengaran sebanyak mungkin! Elisa mengerti bahwa walau sumber mereka sedikit atau kecil, Tuhan yang ada dipihak mereka besar. Sekarang tergantung iman dan kerja keras si janda itu.
Alkitab tidak mencatatkan apa yang menjadi (perkataan) balasan si janda mendengar apa yang disuruhkan Elisa kepadanya. Ayat 5 hanya menunjukkan ia dengan segera pergi mengerjakan apa yang dimaksudkan Elisa. Ia tidak protes bahwa ini berat harus dikerjakan, ia tidak bilang malu untuk pergi meminta bejana kosong dari tetangganya, ia tidak bertanya-tanya kenapa harus menutup pintu ruang kamarnya (bukan pintu rumah, kemungkinan besar, keluarga ini hanya sanggup menyewa sebuah ruangan kamar dan bukan rumah). Ia bahkan tidak berusaha reasoning (berdebat mencari tahu secara logika), bagaimana mengisi bejana-bejana yang kosong itu dari minyak sisa yang cuma sebuli-buli itu. Ia pergi melakukan semuanya dengan taat. Ia tidak bereaksi apa-apa secara verbal sampai pada ayat ke-7 ketika ia menemukan bahwa sekarang semua bejana yang telah dikumpulkannya penuh dengan minyak dari sisa minyak sebuli-buli saja dalam ruang tertutup, kamarnya sendiri. Ia pergi memberitahukan Elisa bahwa semuanya telah penuh, dan minyak akhirnya berhenti mengalir dari buli-buli itu.
Janda di Sarfat penuh keluh kesah, marah dan mempersalahkan Tuhan. Demi Tuhan, Allahmu! sangat kedengaran seperti sumpah serapah, keluhan dan gerutu seseorang yang dalam kesulitan. Sebenarnya, masalahnya bisa dipahami, lagipula ia memang bukan seorang percaya kan. Tapi ia seharusnya melihat bahwa Elia yang datang ini adalah pertolongan yang sedang datang kepadanya. Bukan kemudian, ia justru sekarang bertemu dengan dia yang telah menjadi biang kerok kekeringan dan kelaparan dalam 3,5 tahun terakhir. Kita juga dengan mudahnya bisa tunjuk tangan seperti janda ini, apalagi mereka semua saat itu tahu bahwa karena nubuatan dan perkataan Elia inilah semuanya telah terjadi. Tanpa kita sadari, respon hati kita akan sangat menentukan masa depan kita. Bagaimana iman kita nyata dalam keadaan sulit akan menentukan besarnya mujizat yang kita akan alami.
Janda dijaman Elisa pergi melakukan semua yang menjadi perintah Elisa tanpa keluh kesah sama sekali, bahkan ia mengumpulkan cukup banyak bejana kosong. Pas seperti yang diperintahkan Elisa, jangan terlalu sedikit. Janda Sarfat justru berkata membalas Elia seperti ini, 1 Raja-raja 17:12,
- Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, – suatu sumpah ia ucapkan untuk bermaksud berkata sejujurnya.
- sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun – tidak ada sama sekali? Bukankah ia hendak kembali membuat roti? Dan bukankah yang diminta Elia hanya supaya ia membagi sepotong kecil?
- kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. – cuma tinggal ini yang aku punya, katanya
- Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati. – roti terakhir hendak dibuatnya, habis itu mati! kata si janda.
Perkataannya penuh dengan tidak ada harapan lagi, saya tidak punya apa-apa lagi, kamu kok datang minta-minta, tidak pedulikah kamu dengan keadaanku, jangan datang pada saya, cari yang lebih kaya, cari yang lebih punya, kenapa saya.. dan segala macam lainnya bisa kita tuliskan menggambarkan protesnya dalam ayat 12 ini.
Elia tidak mundur, tidak menjadi tawar hati, dengan memaksa ia berkata dalam ayat 13, janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Untung Elia bersikeras, jika tidak, janda ini kehilangan pertolongan Tuhan. Dan tentunya akan ada orang lain yang menerima mujizat setelah menolong Elia, nabi api Tuhan itu. Tapi yang pasti, bakal bukan si janda Sarfat.
Mujizat yang dialami janda Sarfat ini terjadi (ayat 16) persis seperti yang Elia katakan, ayat 14, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.
Mujizat yang dialami janda dijaman Elisa adalah hutangnya terbayar lunas dan ia bisa hidup dari sisanya. Ia punya cukup banyak untuk bisa terus hidup karenanya. Tapi janda di Sarfat hanya akan punya sampai hujan turun kembali. Jika Elia datang kepada dia diakhir masa 3,5 tahun itu, berarti ia hanya menikmati mujizat itu sesaat. Jika Elia datang diawal, ia mungkin mengalaminya lebih lama, 3 tahun-an. Mengapa tidak seumur hidupnya minyak dan tepung itu tidak habis?
Iman itu bukan sekedar pernyataan aku percaya, tapi harus diikuti dengan tindakan yang nyata, ketaatan. Kita bisa dengan mudahnya berkata aku percaya, tapi tindakan kita selanjutnya akan menunjukkan apakah ucapan kita hanya sekedar lipservice, atau betul-betul percaya. Sebab kelakuan kita lahir dari hati kita. Gerutu kita, keluh kesah kita hanya akan menunjukkan hati yang tidak percaya. Lebih parahnya, apa yang menjadi keluh kesah si janda Sarfat menjadi penyataan imannya kepada Tuhan. Jadilah sesuai perkataanmu, bukan? Bahwa yang dipunyainya hanyalah segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, ayat 12. Dan demikian yang jadi padanya, cuma itu yang tetap akan ada selama musim kering dan kelaparan, segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli tidak akan habis. Tapi tidak bertambah lebih banyak untuk bisa memenuhi yang lain! Tidak cukup bahkan untuk membuat 3 roti sekaligus. Perhatikan bahwa kemudian Elia tinggal bersama mereka, ayat 18-19. Tetap harus satu per satu roti dibuat si janda itu, karena ia hanya tetap mempunyai segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Semuanya memang tidak habis tapi juga tidak menjadi lebih banyak.
Janda dijaman Elisa tidak mengucapkan satu katapun, tidak protes sama sekali. Ia hanya pergi melakukan apa yang disuruhkan Elisa padanya, terlebih ia tidak mengumpulkan sedikit bejana seperti perintah Elisa. Walau mungkin ia kebingungan bagaimana nanti semuanya penuh dari sisa minyak sebuli-buli yang ia punya, ia masih melakukannya tanpa berkata apapun. Ia akhirnya bisa membayar hutangnya dan hidup dari sisanya. Ya, bukan mengambil hasil penjualan minyak lalu lari bersembunyi dari si debt collector. Tapi membayar hutangnya menjadi prioritas lebih dahulu karena dengan demikian ia bisa menyelamatkan kedua anaknya.
Mungkin janda di Sarfat pun bisa mengalami yang demikian, jika ia bisa menahan mulutnya dan pergi melakukan apa yang diminta Elia padanya tanpa marah. Bayangkan kemungkinan yang bisa dialaminya. Lebih parahnya, 1 Raja 17:17 menunjukkan, bahwa anaknya jatuh sakit, sakit sampai tidak ada nafasnya lagi. Ya, jatuh sakit ketika Elia ada disitu, bukan sebelumnya. Ayat 18 dan 20 menunjukkan kekagetan si janda dan Elia akan kemalangan yang menimpa anak ini. Jika janda dijaman Elisa bisa tetap berkumpul dengan anak-anaknya, roh maut justru mengambil anak si janda Sarfat ini. Dan Elia yang bahkan dikenal sebagai nabi api tidak bisa membangkitkannya kembali dengan hanya sekedar tumpang tangan, ia harus tumpang badan, ayat 21, lalu ia mengunjurkan badannya di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya.” Tindakan yang dijaman sekarang akan dicap sebagai pelecehan seksual, tindakan seorang pedofil.
Rupanya apa yang terjadi dengan janda di Sarfat ini adalah demikian, ia mengalami kesulitan memahami maksud Tuhan melawat dia melalui datangnya Elia ke dalam hidupnya. Nanti diayat ke-24 baru ia berkata, sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar. Mengapa ia tidak mengakuinya lebih dahulu, bukankah ia sudah mengalami mujizat didapurnya? Mujizat yang dialami oleh perutnya setiap kali ia membuat roti. Seharusnya sejak awal, ia telah mengakui bahwa Elia adalah hamba Tuhan dan Firman yang diucapkannya adalah benar. Banyak kali lawatan Tuhan atas hidup kita tidak bisa mengubah hati kita jika kita tidak mau dengan sungguh hati bertobat dan percaya pada-Nya. Ya, hati manusia itu jahat, siapa yang tahu, dan ini seringkali nyata dari kata-kata yang keluar dari mulut manusia itu.
Kejadian 6:5, bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata.
Yeremia 17:9-10, Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.
Matius 15:11, 18-19, Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang… Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang.
Hati manusia itu jahat, kita semua harus bertobat dan berbalik dari jalan-jalan kita yang jahat, dari mulut yang menghancurkan orang lain. Jika kita tidak mengerti dan menghadapi tantangan (iman) diluar nalar kita, ada baiknya kita belajar berdiam diri. Dalam situasi si janda Sarfat ini, Tuhan perlu mengijinkan roh maut mengambil anak si janda supaya ia belajar mengakui Ke-Tuhan-an-Nya dalam diri Elia. Untung masih ada si Elia disitu. Tapi dalam situasi orang Israel yang dibawa keluar dari Mesir, keluh-kesah mereka mengakibatkan mereka dihukum 40 tahun lamanya berputar-putar di padang gurun sampai semua generasi tua itu mati!
Jika kita menemukan kesulitan dihidup ini, apakah kita akan berespon seperti janda dijaman Elisa atau bereaksi seperti janda di Sarfat? Respon anda akan menentukan berapa besar pertolongan Tuhan yang bisa jadi dalam hidup anda.
Leave a Reply