Dunia mengenal moment Paskah ini dengan banyaknya telur (coklat) dan kelinci yang beredar di toko dan pasar. Mereka menyebutnya dengan Easter yang sebenarnya justru berasal dari kata Ishtar, dewi Venus, dewi sex dan perang.
Dan di negara-negara dimana Kristen menjadi mayoritas, banyak orang merasa harus ke gereja untuk beribadah merayakan Paskah ini. Ya, mereka yang biasa dikenal sebagai Kristen Paskah dan Natal. Karena mereka hanya ke gereja saat Paskah dan Natal.
Dalam tradisi Yahudi, Paskah justru dikenal sebagai Passover. Suatu perayaan yang ditandai dengan memakan roti tidak beragi, roti yang hampir keras, tidak lembut dan serasa pahit, tidak manis sama sekali. Dan orang Yahudi biasanya harus memakannya dengan sikap seakan-akan mau segera pergi. Ya, dimakan dengan daging domba yang dipanggang dengan terburu-buru. Ini dilakukan untuk mengingat bahwa nenek moyang mereka mengerjakan ini pertama kalinya pada malam terakhir ketika mereka hendak meninggalkan Mesir keluar dari perbudakan mereka. Tapi kata Passover itu sendiri justru berarti dilewatkan, dilewati, tidak disinggahi. Kata yang menunjuk pada peristiwa yang mengerikan yang terjadi pada saat malam yang sama ketika mereka makan roti tidak beragi ini. Peristiwa dimana Malaikat Maut melawat Mesir untuk membunuh semua yang sulung, mulai dari anak Firaun sampai anak hewan ternak Mesir. Tidak ada yang lolos, kecuali anak-anak Israel. Itupun jika mereka berlindung, tinggal tetap dan tidak keluar dari dalam rumah yang kusen pintunya diolesi dengan darah domba sampai situasi ini selesai. Darah domba yang berasal dari domba yang dagingnya dipanggang terburu-buru itu.
Di keKristenan sendiri, Paskah bukanlah untuk memperingati malam Israel keluar dari Mesir lagi. Tapi untuk memperingati kematian Yesus Kristus di atas kayu Salib, dan kebangkitan-Nya pada hari ketiga. Bagi kebanyakan kita, ini peristiwa setahun sekali, seperi Natal yang memperingati kelahiran-Nya.
Kematian Tuhan, seharusnya tidak diperingati hanya setahun sekali. Atau sekedar sebulan sekali dalam ibadah Perjamuan Suci seperti yang dilakukan kebanyakan gereja. Kematian dan kebangkitan-Nya harus diingat dan disyukuri setiap saat, setiap kita datang mendekat kepada Dia. Baik itu dalam ibadah (Kristen) bersama maupun dalam doa-doa pribadi kita. Tapi ini justru menjadi hal yang biasanya hampir tidak pernah disebut dalam doa kita. Kita akan bersyukur kepada-Nya untuk segala hal yang setiap hari kita terima, tapi tidak untuk Salib-Nya. Kita bersyukur untuk makanan, berkat keuangan, nafas, kesehatan, keluarga, damai dan segala macam lainnya. Tetapi hampir tidak pernah untuk bersyukur atas kematian-Nya di kayu Salib bagi kita. Di jaman Covid ini bahkan, kita selalu bersyukur untuk kesehatan dan tubuh yang masih hidup ini. Seakan-akan Tuhan kita hanya seperti tempat berlindung dari hujan deras yang menerpa kehidupan kita. (Bukankah Dia lebih sekedar dari tempat berlindung? Bahkan lebih besar dari Covid itu? Mengapa doa kita serasa mengecilkan Dia dalam situasi ini? Mungkin karena kita membaca berita Covid lebih banyak daripada Alkitab-Nya!)
Ya, ini semua terjadi karena pengenalan akan Dia tidak ada lagi dalam kehidupan yang kita punya. Ini disebabkan karena kebanyakan dari kita hanya selalu mau mengurusi diri kita sendiri saja, atau jika menyangkut diri kita, baru kita mau sibuk. Jangankan mengenal Tuhan, mengenal sesama kita saja, kita tidak mau perduli kan jika tidak menyangkut diri kita. Ini bukanlah ajakan untuk mencampuri urusan orang lain, atau menjadi kepo, tapi pernahkah kita berusaha untuk bisa mengerti dan memahami orang lain? Hampir tidak pernah, apalagi berusaha untuk mengenal Tuhan.
Kematian dan kebangkitan Tuhan adalah inti, pusat dari segalanya. Arti menjadi Kristen ada dalam hal ini. Tujuan Yesus datang ke dalam dunia digenapi dalam peristiwa ini. Seluruh Alkitab berpusat pada Yesus, dan Yesus ini ada untuk Salib itu. Titik. Bukan perkara yang lain.
Kematian dan kebangkitan-Nya menyediakan korban tebusan salah bagi kita. Dari Salib-Nya kita menerima pengampunan yang sangat kita perlukan, melebihi segala sesuatunya. Salib-Nya mendamaikan kita dengan Bapa. Kita suka berpikir bahwa kesehatan lebih penting dari semuanya, kita lupa bahwa jika kita tidak diampuni, sekalipun kita sehat dan kuat menghadapi bahaya Covid ini, pada akhirnya kita pun tidak akan bisa lolos dari penghakiman Tuhan di akhirat nanti. Dan kematian kekal jauh lebih mengerikan dari kematian karena Covid. Tapi kalau kita menerima pengampunan untuk dosa dan salah kita, sekalipun tubuh kita sakit dan akhirnya mati, kita tahu bahwa akhir hidup kita adalah diterima di sisi-Nya. Kita lupa bahwa masalah terbesar kita bukanlah Covid, bukan tidak punya uang, bukan perang, bukan semuanya yang lain, tapi dosa.
Kita semua berdosa dihadapan-Nya. Memang kebanyakan kita tidaklah melakukan kesalahan yang fatal, seperti membunuh atau memperkosa, tapi kita mengerti bahwa ada perkara-perkara yang telah kita buat yang kita tahu Dia tidak berkenan kepada kita karenanya. Kita semua bersalah terhadap-Nya. Dan kita sangat memahaminya bahwa kita tidak mungkin lolos karenanya dihadapan-Nya. Karenanya kita akan selalu berusaha membenarkan diri kita. Bahkan bukan dengan cara-cara yang licik yang bermaksud menyembunyikan kesalahan kita ini, tapi dengan berbagai usaha yang baik untuk mengimbangi dosa kita. Supaya ketika kita berdiri dihadapan-Nya, kita didapati lebih berat pada kebaikan kita. Betulkan?
Masalahnya dosa seorang manusia itu tidak mungkin dihapus dengan kebaikan orang itu. Cuma pemikiran kita saja yang berharap bahwa Tuhan mau mempertimbangkan kebaikan kita ketika dibandingkan dengan dosa kita. Padahal dihadapan pengadilan manusia, kita mengerti bahwa jika seseorang divonis bersalah, kita tahu bahwa ia harus menjalani hukumannya lebih dahulu sebelum ia bebas. Segala kebaikannya sebelumnya tidak akan bisa membebaskan dia dari hukuman yang harus dijalaninya. Apalagi di hadapan pengadilan Tuhan (atau anda berpikir bisa menyuap Dia yang punya langit dan bumi?). Dan karena dosa, kita semua jatuh dibawah hukuman-Nya, mati! Tidak akan ada yang bisa lolos dari upah dosa ini, yaitu maut. Ya, kematian kekal, api neraka, atau apapun sebutannya.
Ya, tidak ada jalan lain lagi. Hukuman telah dijatuhkan dan harus dijalani. Kecuali jika ada orang lain yang mau menjalani hukuman ini ganti kita. Maut sebagai vonis terhadap dosa menuntut darah harus ditumpahkan, harus ada yang mati. Kalau bukan kita, harus ada orang lain ganti kita. Tapi siapa, bukankah semua manusia bersalah. Tidak ada dari kita yang bisa, atau yang layak, menggantikan yang lain. Dan tidaklah mungkin darah binatang ditumpahkan ganti kita, bukankah manusia lebih berharga dari binatang? Jadi kalaupun ada, yang menggantikan itu harus lebih berharga atau paling tidak setara dengan kita.
Disinilah kematian Kristus berperan sangat crusial bagi kita. Dia mati ganti kita. Darah-Nya yang tertumpah dikayu Salib menjadi pengampunan dosa yang sangat kita perlukan. Karena Dia mati, kita kemudian bisa hidup menerima pengampunan dosa yang sangat kita perlukan ini. Dia adalah korban tebusan salah bagi kita. Ya, Dia yang adalah Tuhan turun ke dunia ini, menjadi manusia sama dengan kita, untuk mati dikayu salib, mencurahkan darah-Nya yang mahal itu sebagai korban pengampunan dosa bagi kita. Tuhan, yang tentunya lebih berharga dari manusia. Lebih tinggi derajat-Nya, telah mati ganti kita.
Kalaupun anda menolak untuk percaya bahwa Dia Tuhan, kematian-Nya ganti anda cukup untuk menjadikan Dia Tuhan bagi anda. Coba bayangkan jika anda terjepit dalam situasi yang tidak terhindarkan, dan ada orang yang menolong anda, biasanya anda akan otomatis menyembah-nyembah orang itu sebagai tanda ucapan syukur. Apalagi jika orang yang menolong anda itu ikut mati karena menolong anda, dan anda terselamatkan karenanya.
Ya, yang mati ganti kita terhadap maut ini adalah Tuhan sendiri. Bukan seekor binatang yang lebih rendah dari kita, bukan sekedar manusia saja yang setara. Yesus memang menjadi manusia seperti kita, makanya Dia perlu lahir dari seorang perempuan, bukan turun dari langit. Dia bisa saja turun dari langit, atau muncul dalam penampakan seperti yang biasa dilakukan-Nya. Tapi itu tidak akan menjadikan-Nya setara dengan kita, tidak akan membuat Dia bisa merasakan apa yang kita rasa. Dia perlu menjadi manusia seutuhnya untuk bisa mengambil bagian dalam penderitaan kita sebagai manusia menghadapi godaan dosa. Untuk mati menggantikan manusia, Dia telah menjadi manusia seperti kita. Bedanya, Dia sama sekali tidak berdosa. Itu sebabnya, Dia adalah korban yang layak, suci dan kudus, tanpa cacat cela. Darah-Nya yang tertumpah adalah darah yang sangat bernilai, bukan sekedar karena Dia juga adalah Tuhan, tapi justru karena kemurnian hidup-Nya yang dijalani-Nya sebagai manusia.
Namun yang paling ajaib dari semuanya adalah bahwa Ia mau mati ganti kita dikayu Salib. Siapakah kita ini sampai Tuhan kita mau mati ganti kita? Mungkin ada beberapa dari kita adalah manusia hebat, atau anak dari pemimpin besar, tapi kita tahu bahwa kebanyakan kita pada umumnya adalah manusia biasa bahkan mungkin mereka yang tidak diperhitungkan atau disebut sampah masyarakat. Memang ada yang mau menolong orang baik, tapi siapa yang mau mati ganti orang yang tidak berguna? Adakah seorang raja didunia ini yang mau mati menggantikan rakyat jelatanya yang bersalah terhadap dia? Tapi justru untuk kita semualah Dia mau melakukannya, mati dikayu Salib. Mati menjadi korban penebusan salah, mati untuk menyediakan pengampunan dosa bagi kita. Bayangkan jika Ia berkata tidak, Aku tidak mau! Semuanya kita yang fana ini hidup hanya karena kemurahan-Nya pada kita.
Itu sebabnya kita harus selalu mengucap syukur akan Salib Tuhan bagi kita. Ketika kita datang pada-Nya baik dalam ibadah kita bersama maupun dalam doa-doa kita pribadi, hal pertama yang harus kita syukuri adalah Salib ini, bahwa Ia telah mati bagi kita. Mati sebagai korban penebusan salah kita, mati menyediakan pengampunan dosa kita. Bukan kesehatan kita yang pertama, bukan berkat-berkat jasmani kita, bukan keluarga kita bahkan. Semuanya itu tidak akan berarti apa-apa jika Ia tidak mati ganti kita dikayu Salib.
Salib-Nya juga adalah bukti kasih-Nya pada kita. Kita tidak perlu lagi berusaha menjadi baik, tidak perlu lagi bersedekah untuk mengimbangi dosa kita dihadapan-Nya. Di Salib itu, Dia sudah memberi semua kehidupan-Nya bagi kita. Salib-Nya menjadi semua yang kita perlukan untuk menerima pengampunan dosa. Kebaikan dan semua sedekah kita bukanlah lagi untuk membawa perkenaan Tuhan pada kita, tapi untuk membuktikan siapa kita sebagai orang-orang yang telah ditebus-Nya. Bukan sebagai usaha dan kerja kita untuk menebus diri kita lagi atau mendapatkan pengampunan itu. Saliblah yang telah melayakkan diri kita. Usaha kita semua yang lain hanya kesia-siaan belaka. Lagi pula tidaklah mungkin bagi seseorang untuk tidak berubah jika ia telah bertemu dengan Salib Tuhan secara pribadi. Salib itu pasti mengubah hidup-Nya. Jika ia tidak berubah, jika ia tidak menghasilkan buah-buah pertobatan, mungkin perlu dipertanyakan Salib apa yang ditemuinya. Juga karena Salib-Nya ini, kita kemudian tidak lagi saling menyapa seperti ini: semoga Tuhan mengasihi anda atau semoga kasih Tuhan menyertai kita. Karena kita tahu bahwa kasih-Nya sudah sempurna bagi kita, sudah sampai, sudah selesai, sudah digenapi bagi kita di Salib itu. Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat untuk mendapatkan kasih-Nya lebih banyak, Dia sudah beri semua-Nya untuk kita, dikayu Salib itu. Ya, yang perlu kita lakukan adalah mempercayai-Nya! Salib Tuhan adalah segalanya bagi kita, sumber segala sesuatunya untuk kita.
Dan lebih ajaib lagi, maut tidak bisa menahan Dia lebih dari 3 hari. Dia bangkit. Sekarang kubur-Nya telah kosong. Sebab bagi kita semua yang berbalik, bertobat dan percaya pada-Nya, sekarang memiliki hati yang penuh dengan kehadiran-Nya yang hidup dan nyata. Inilah Paskah yang sesungguhnya. Biar Salib & KebangkitanA-Nya menjadi hal yang berarti bagi kehidupan kita setiap hari.
Amin.
Leave a Reply