Part 1 – Part 2
Tuhan lalu menunjuk pada diri-Nya sendiri sebagai contoh, Sebab Anak Manusiapun tidak datang dengan berharap untuk dilayani oleh semua orang, tetapi untuk melayani semua orang, dan untuk memberikan hidup-Nya sebagai ganti tebusan banyak orang. Matius 20:28.
Photo above is the courtesy of www.LumoProject.com
Melayani punya pengertian mereka yang mau mengotori tangan mereka untuk kepentingan orang lain. Mereka yang merendahkan diri mereka melayani keperluan-keperluan orang-orang lain baik itu besar maupun kecil. Melayani tidak bisa dipisahkan dari kata hamba. Pengertian kita dijaman sekarang akan hamba adalah pembantu, tapi pembantu yang kita mengerti saat ini sangat berbeda dengan kata hamba ini sendiri. Hamba berasal dari kata doulos, yang punya pengertian budak, melayani, suruhan, kurir. Budak adalah mereka yang terjual hak kehidupannya, dan terbeli hanya untuk hidup melayani tuannya. Pembantu harus dibayar sepantasnya, hak-hak kehidupan mereka harus diperhatikan. Ada pemerintah dengan Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial, Hak-Hak Asasi yang mengawasi kita mempekerjakan para pembantu ini. Budak tidak punya semua ini. Seekor anjing lebih berharga dari seorang budak. Budak boleh saja diperkosa bahkan dibunuh oleh tuannya, ia adalah milik, properti si tuan. Tidak ada yang bisa membantah hal ini atau menghukum si tuan. Budak hanya bisa bebas oleh kemurahan tuannya atau memberontak serta lari dari tuannya. Makanya perbudakan telah dihapuskan dari kehidupan kita dijaman modern ini.
Merasa tidak dihargai
Kita mau melayani tapi biasanya cepat marah jika kita merasa tidak dihargai dalam mengerjakan pelayanan kita. Merasa tidak dihargai bisa datang hanya karena tidak adanya ucapan atau sikap berterima kasih, atau bisa juga karena uang persembahan kasih yang terlalu kecil. Sikap yang kurang welcome dan tidak bersahabatpun bisa membuat kita kesal. Ya, seharusnya memang ada ucapan terima kasih. Sikap yang menyambut dengan baik, bersahabat dan bahkan persembahan kasih yang sepantasnya. Tapi seringkali jika semuanya ini menjadi yang kita kejar dalam melayani Tuhan, bukankah itu berarti kita tidak mengerti sama sekali apa arti doulos, melayani sebagai hamba, budak Tuhan? Lagipula, bukankah Tuhan yang memanggil dan mengutus kita? Bukankah dari Dia nanti baru kita menerima terima kasih, penghargaan dan upah kita?
Tidak mudah memang melayani orang lain, menjadi hamba. Kita semua mengerti ada harga yang mahal harus dibayar. Banyak dari kita tidak mau menunggu upah yang akan datang, kita cuma mau upah hari ini. Pengertian Hamba Tuhan pun lebih mengacu pada sang bos besar yang harus dilayani, bukan mereka yang sendiri terjun langsung dan mau susah untuk yang lain. Padahal Yesus berkata dengan jelasnya, barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; Matius 20:26. Maukah kita merendahkan diri melayani yang lain sebagai hamba?
Jadikan aku kepala
Doa kita jelas, Tuhan jadikan aku kepala! Ulangan 28:13. Tapi jika kita tidak mau mengerjakan prinsip Yesus ini, jangan harap doa ini dikabulkan. Tuhan tidak memanggil kita menjadi bos. Tuhan memanggil kita menjadi mereka yang melayani. Dan punya hati yang melayani yang akan menjadikan kita yang besar karena kehormatan dan kemuliaan terbesar disediakan untuk orang yang memiliki hati seorang hamba, Matius 20:27. Kita harus mengubah konsep kita akan apa arti bos. Bos adalah mereka yang memerintah kesana-sini, keinginan mereka yang harus diikuti. Bukankah mereka yang membayar upah dan gaji yang diperintah? Masalahnya seringkali, kita sebagai Hamba Tuhan, suka memerintah jemaat kita kesana-sini tapi kemudian bukan kita yang membayar gaji mereka. Kita malah menjadi yang menuntut mereka membayar kita melalui persembahan, perpuluhan dan kolekte. Mengapa kita tidak menjadi contoh melayani jemaat kita, melayani mereka dengan sungguh-sungguh lebih dulu, baru kemudian membiarkan Tuhan yang menjamah hati mereka menolong kita kembali?
Seminar Kepemimpinan sangat disukai oleh orang banyak, sebab semua mau menjadi pemimpin. Tapi berapa yang mau menjadi hamba? Pelajaran pertama yang seharusnya diajarkan adalah bukan panggilan menjadi pemimpin, tapi panggilan melayani, Matius 20:26. Karena kecuali kita berani punya hati besar yang mau turun sendiri mengotori tangan kita melayani orang lain, tidak mungkin kita menjadi pemimpin seperti yang Yesus kehendaki. Ya, kecuali kepemimpinan yang anda ajarkan yang berbeda dengan yang Yesus ajarkan, silahkan! Karena untuk menjadi besar, jalan yang harus dilalui adalah menjadi yang kecil.
Menjadi rendah
Siapa yang mau mengambilkan piring untuk orang lain makan di gereja? Siapa yang mau membersihkan meja makan, mencuci piring setelah semua selesai? Siapa yang mau membersihkan toilet gereja, melap, menggosok semua noda bekas urin sampai bersih. Atau bahkan memastikan toliet duduk gereja tidak mempunyai noda kotoran yang terpercik kemana-mana? Seringkali kotoran kita sendiri tidak mau kita bersihkan di toilet duduk kita dirumah, kita cuma men-flush semuanya tanpa memperhatikan lagi, berharap semuanya hilang dengan sendirinya. Lalu keluar dari ruang toilet dengan sikap pura-pura tidak tahu apa-apa. Kemudian naik ke mimbar, berseru-seru begitu rupa bahwa kita harus melayani. Mengapa bukan kita sendiri, hamba Tuhan, yang turun membersihkan semuanya itu di rumah Tuhan?
Ada sekolah Alkitab yang menilai karakter muridnya, apakah mereka mau melayani atau tidak dari apakah mereka bisa merapikan tempat tidur mereka sendiri sebelum mereka keluar dari kamar asrama mereka disubuh pagi hari untuk pergi berdoa bersama. Setiap hari ada 2x jadwal kerja bakti bersama mereka, sebelum makan pagi dan sebelum kelas sore, hanya untuk membiasakan para murid ini mengotorkan tangan mereka sendiri untuk bisa melayani. Sangat disayangkan, tetap banyak diantara murid-murid itu yang kesal karena dinilai dari kerapihan tempat tidur mereka dan kesal karena terganggu tidur siangnya. Mereka dengan angkuhnya menganggap Tuhan tidak memanggil mereka untuk perkara-perkara demikian.
Uang yang banyak
Ya, betul bahwa ada orang yang bisa kita bayar untuk bersih-bersih. Ada janitor gereja yang membersihkan semuanya itu. Bukankah mereka dibayar untuk itu. Tidak salah memang mempekerjakan mereka. Cuma seringkali kita kehilangan kesempatan mengerjakan hal-hal kecil dan kotor yang kita tahu bahwa dijaman modern seperti sekarang ini cuma pembantu yang akan mengerjakannya. Mengapa bukan kita sendiri? Mungkin karena kita punya uang yang terlalu banyak, mempunyai apa yang kita sebut sebagai berkat Tuhan tapi telah menghalangi kita sendiri turun melayani. Mungkin seharusnya Tuhan jangan memberkati kita dengan uang banyak supaya kita sendiri mau turun tangan akhirnya!
Coba perhatikan, banyak anak-anak yang besar dari keluarga berduit tidak punya hati melayani orang lain. Alasannya sederhana, orang tua mereka terlalu kaya sehingga tidak pernah membiarkan mereka bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka, apalagi menolong orang lain. Selalu ada pembantu, baby sitter, sopir, tukang kebun, tukang cuci, tukang masak. Kita memanjakan anak kita seperti raja kecil tapi mengeluh begitu rupa ketika mereka besar menjadi Raja yang malas, suka perintah, merendahkan semua orang termasuk kita, orang tua mereka! Tidak salah punya uang banyak, yang salah adalah kita yang hidup terlalu enak dan tidak mau bersusah-susah dengan mendidik anak kita sesuai Firman Tuhan. Ingat ini, jika kita selalu mengikuti mau anak kita, enggan menolak permintaannya, tidak mau menyusahkan dia (cukup kita yang susah dulu, kata kita), jangan marah pada mereka jika mereka besar nanti, hidup kita susah karenanya. Baca Amsal 22:15.
Roh yang menjajah
Pertanyaannya sekarang jika demikian, apakah janitor yang kita pekerjakan itu telah dibayar sepantasnya? Diperlakukan dengan baik? Atau hanya sebatas upah minimum, tapi diperintah sana-sini seperti kacung? Jika demikian bagaimana kita bisa menjadi saksi Kristus kepada mereka-mereka ini di rumah dan di gereja kita sendiri? Tahukah anda bahwa karena semua sikap kita ini nama Tuhan dicerca begitu rupa oleh mereka yang dibawah yang bahkan biasanya bukan kaum kita sendiri? Tidak heran banyak diantara mereka tidak pernah mau datang kepada Kristus.
Rupanya penolakan bangsa ini kepada keKristenan karena dianggap sebagai agama penjajah, masih terjadi karena roh menjajah itu tetap tinggal walau Belanda sudah pergi! Kita lebih mirip para tyrant yang disebutkan Tuhan dalam Matius 20:25. Kita semua harus bertobat dan berbalik kepada Tuhan, belajar melayani seperti Dia yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Matius 20:28.
Membasuh kaki
Ketika Yesus mengambil baskom dan kain lap, Petrus berkata dalam Yohanes 13:6, aku tidak bisa membiarkan-Mu membasuh kakiku yang kotor dan bau — Engkaulah Tuhanku! Dalam ayat 8, sekali lagi ia berkata, Kamu tidak akan pernah mencuci kakiku yang kotor — tidak pernah! Dalam banyak budaya manusia, bukan cuma Yahudi, tidak akan pernah kita mendengar cerita seorang tuan mau dengan rendah hati mencuci kaki mereka yang telah menjadi pelayannya. Mungkin cuma Yesus yang melakukannya. Kisah ini menjadi lebih memberatkan hati bagi para murid mengingatkan siapa mereka kepada-Nya, mereka adalah talmidim-Nya. Seperti yang dijelaskan diatas, talmidim seorang rabi adalah mereka yang telah meninggalkan semuanya dibelakang hanya untuk menjadi pelayan, menjadi kacung-kacung bagi para guru agama ini demi mempelajari Tuhan lewat para rabi ini. Jadi talmidimlah yang seharusnya membasuh kaki gurunya, bukan sebaliknya.
Makanya dengan lantangnya Petrus menolak Yesus ketika Ia sampai padanya. 2x bahkan, yang kedua dengan sedikit berteriak ia berkata, jangan pernah! Tapi seperti Petrus kita pun harus mengerti bahwa jika kita tidak mau turun dengan rendahnya melayani orang lain, terutama murid kita sendiri, engkau tidak akan mendapat bagian didalam Aku, Yohanes 13:8. Rupanya tindakan membasuh kaki para murid, melayani orang lain, menunjukkan apakah kita mau dengan rendah hati mengambil bagian dalam hidup Yesus yang rendah hati, atau tidak!
Tuhan kita adalah Tuhan yang rendah hati. Tapi banyak dari kita bermasalah dengan sikap hati ini. Kita merasa ini sukar dan tidak mudah. Kita memasang harga diri dan gengsi kita terlalu tinggi. Mungkin itu sebabnya, Injil banyak disambut di masyarakat kecil, disambut oleh orang miskin, mereka yang susah, mereka yang perlu Tuhan.
Seperti Yesus
Tidak heran Yesus berkata dalam ayat 23 bagian akhir, tapi menjadi orang yang duduk di tempat kehormatan tertinggi bukanlah keputusan-Ku. Bapa-Ku adalah orang yang memilih dan mempersiapkan mereka. Tuhan Yesus sendirilah pertama-tama yang dipilih Bapa dan dipersiapkan-Nya. Perkataan Yohanes Pembaptis dalam Yohanes 1:29, Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia, menunjuk pada Tuhan yang telah dipilih sejak sebelum dunia dijadikan sebagai Anak Domba yang memikul semua dosa ini, menanggungnya diatas kayu Salib sekali untuk selamanya, menjadi korban tebusan dan perdamaian bagi kita yang percaya pada-Nya.
Filipi 2:6-9 berkata, bahwa Dia dalam rupa Tuhan Allah sendiri tidak merencanakan untuk meraih kesetaraan dengan Tuhan sebagai cita-cita tertinggi-Nya. Sebaliknya Dia mengosongkan diri-Nya (melepaskan, meninggalkan, mengesampingkan semuanya) dari kemuliaan dan gengsi lahiriah-Nya (sebagai Tuhan) dengan mengurangi (menurunkan, merendahkan) diri-Nya menjadi seorang budak rendahan. Dia menjadi manusia! Dia merendahkan diri-Nya, membiarkan diri-Nya menjadi rapuh (rentan, harus bergantung pada pertolongan yang lain), memilih untuk dinyatakan sebagai seorang manusia dan sebagai manusia Ia taat kepada-Nya, Allah Bapa. Dia adalah contoh yang sempurna, bahkan sampai dalam kematian-Nya Ia taat — kematian seperti penjahat karena disalibkan!
Karena ketaatan-Nya itu, Tuhan Allah meninggikan dan melipatgandakan kebesarannya! Dia sekarang telah diberi nama terbesar (lebih tinggi) dari semua nama!
Ya, seperti Yesus, banyak dari kita pun telah dipanggil oleh Tuhan Allah, Bapa kita. Pertanyaannya adalah maukah kita meresponi panggilan ini dengan benar, seperti Yesus yang menginggalkan semuanya, terutama gengsi dan kesetaraan-Nya dengan Allah sendiri, turun dan melayani kita yang terhilang ini? Maukah kita meninggalkan harga diri kita, gengsi kita, status kita, kekayaan kita bahkan, dan turun melayani mereka yang terhilang itu?
Amin.
Leave a Reply