Ketika Tuhan memilih korban Habel (Kejadian 4:4), Alkitab bercerita kepada kita bahwa hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram, ayat 5. Kita kemudian tahu kisah selanjutnya, bahwa ketika Kain mengajak Habel ke padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia, ayat 8. Tapi mengapa Tuhan tidak memilih Kain dan korbannya? Mengapa Ia justru memilih Habel, yang adalah anak kedua, bukan Kain, anak yang pertama, yang sulung?
Apakah karena korban Habel adalah domba dengan lemak-lemaknya sedangkan Kain hanya memberikan hasil tanahnya? Kedengarannya seperti Tuhan adalah Ayah yang suka makan daging yang penuh lemak, dan seperti kebanyakan pria, tidak suka sayur! Apa yang salah dengan persembahan Kain?
Dalam Perjanjian Lama, tindakan mempersembahkan korban binatang diatas mezbah, khususnya kambing domba, selalu berbicara tentang pengampunan dan penebusan dosa. Kitab Imamat menjelaskan banyak akan hal ini. Tapi seperti kata surat Ibrani 10:4 dan 11 dalam Perjanjian Baru, tidaklah mungkin bagi darah domba atau lembu jantan menghapus dosa. Semua korban-korban itu hanya bersifat menutupi dosa untuk sementara, itu sebabnya korban persembahan ini harus dipersembahkan terus menerus, Ibrani 10:1-3. Mempersembahkan korban juga berbicara akan pengharapan mereka yang melakukannya terhadap Mesias yang akan datang yang menjadi penebus orang Ibrani. Tentu dalam perkara ini, Yesuslah yang dimaksudkan dalam iman Kristiani.
Jadi ketika Habel dalam Kejadian 4:4, mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu. Persembahan korban mezbah Habel menunjukkan bahwa ia memahami hal ini, bahwa tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan, Ibrani 9:22. Ia tahu bahwa untuk datang menghadap Tuhan, dosanya harus ditutupi lebih dahulu, supaya Tuhan berkenan menerimanya. Lebih dari itu, lewat korban ini Habel juga menunjukkan bahwa ia memiliki pengharapan akan janji Mesias yang akan datang, seperti yang diajarkan orang tuanya, Adam dan Hawa.
Ya, Adam dan Hawa, sebagai orang tua pasti bercerita kepada anak-anak mereka (Ulangan 6:7) tentang Kejadian 3 ketika mereka berdosa terhadap Tuhan dalam ayat 6. Dosa yang menyebabkan mereka terusir dari Hadirat Tuhan dan Taman Eden, ayat 24. Namun Tuhan yang datang mencari mereka dalam ayat 8 & 9, justru pada akhirnya memberikan pengampunan lewat korban binatang yang Ia sendiri persembahkan. Bagian kulitnya dipakaikan kepada Adam dan Hawa dalam ayat 21, sebagai kain yang menutupi ketelanjangan mereka, menutupi dosa mereka. Tradisi Yahudi mempercayai bahwa kain kulit binatang ini masih berdarah ketika dikenakan kepada Adam dan Hawa. Darah yang kemudian mengenai dan mencemari kulit Adam dan Hawa menunjukkan bahwa dosa mereka sudah diampuni, (ketelanjangan mereka) sudah ditutupi, dan oleh darah korban itu mereka dilindungi Tuhan dari serangan balik si Jahat.
Ketika tangan Tuhan menyembelih binatang itu untuk menjadi korban yang kemudian kulitnya dijadikan pakaian bagi mereka, kemungkinan besar Tuhan juga bercerita dengan kata-kata yang keluar dari mulut-Nya akan Mesias yang akan datang untuk menyelesaikan apa yang sekedar menjadi perlambangan lewat korban itu. Kejadian 3:15. Kisah ini kemudian tentunya diceritakan kembali oleh Adam dan Hawa kepada anak-anak mereka, sebagai ajaran bahwa ketika mereka datang menghadap Tuhan, mereka harus mempersembahkan korban binatang seperti yang Ia sendiri sudah lakukan untuk memperdamaikan mereka kembali kepada-Nya. Juga karena mezbah korban itu menunjukkan bahwa yang mempersembahkannya percaya, punya iman akan pengharapan pada Mesias yang akan datang.
Itulah sebabnya Ibrani 11:4 berkata pada kita, bahwa karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Bukankah tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah, Ibrani 11:6. Persembahan korban Habel menunjukkan bahwa ia punya iman yang nyata lewat tindakannya, Yakobus 2:26, iman tanpa perbuatan adalah mati. Lewat korban itu juga ia mentaati apa yang diwariskan orang tuanya akan kisah Kejadian 3. Tidaklah heran TUHAN kemudian mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, Kejadian 4:4. Tuhan berkenan pada Habel.
Bandingkan dengan persembahan Kain. Kain adalah petani. Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan. Kejadian 3:2-3. Tidak salah memang mempersembahkan sesuatu hasil jerih payah sendiri kepada Tuhan, dan juga tentu kita hanya boleh mempersembahkan apa yang menjadi jerih payah kita sendiri. Bukan hasil orang lain yang kita persembahkan sebagai korban kita. Habel mempersembahkan hasil jerih payahnya, yaitu kambing dombanya, karena ia seorang peternak. Tetapi seharusnya Kain mentaati orang tuanya dalam hal “datang kepada Tuhan”. Ia pun tentu juga tahu kisah Kejadian 3 seperti Habel, tapi ia tidak taat. Lagipula, ia bisa menukarkan hasil kebunnya, hasil taninya untuk membeli kambing domba supaya ia pun mempersembahkan mezbah korban seperti Habel. Jika seandainya ia melakukan hal itu, ia pun akan menunjukkan bahwa ia punya iman untuk datang kepada Tuhan. Namun apa yang dilakukanya justru menunjukkan bahwa ia seorang yang kepala batu, dan berpikir bahwa oleh usahanya sendiri ia bisa datang kepada Tuhan, tanpa harus mentaati apa yang telah menjadi aturan-aturan yang Tuhan sudah tetapkan.
Banyak yang menganggap bahwa Yesus bukanlah satu-satunya jalan kepada Bapa di Surga, Yohanes 14:6. Apalagi karena kita sebagai manusia mempunyai peribahasa ini, ada banyak jalan menuju Roma. Tapi bagaimana jika kita sebagai pemilik rumah, harus berhadapan dengan orang yang memutuskan masuk ke rumah kita tanpa melalui pintu “yang adalah jalan masuk”. Orang itu masuk melalui jendela. Atau menjebol atap atau tembok. Akankah kita “menerima” nya sebagai tamu? Atau sebagai pencuri dan perusak, penerobos? Mengapa kemudian kita memaksa Tuhan menerima kita datang pada-Nya, menerima kita dirumah-Nya di Surga jika kita tidak mau datang melalui pintu itu, Yesus sendiri. Yohanes 10:9. Mungkin memang benar bahwa Surga adalah hak semua manusia, namun mengapa seperti Kain, kita memaksa masuk kesitu tanpa melalui pintu Yesus? Jangan sampai “yang punya rumah” justru mengganggap kita “pencuri” ketika Ia mendapati kita mencoba masuk tanpa melalui pintu itu.
Seperti Kain dan Habel, Habel melalui persembahan mezbah korbannya ia diterima Tuhan. Kain berusaha diterima dengan melalui jalan yang dia buat sendiri. Kain melambangkan keangkuhan kita sebagai manusia yang tidak mau taat bukan sekedar kepada orang tua kita tapi juga kepada Tuhan dan Firman-Nya. Sehingga sekalipun Kain adalah anak sulung, yang seharusnya menerima bagian 2x lipat, ia justru terusir dari hadapan Tuhan untuk selamanya, Kejadian 4:11.
Namun kisah Kain dan Habel ini bukan sekedar kisah persembahan siapa yang diterima. Kisah mereka adalah kisah pembunuhan pertama di Alkitab. Kain membunuh Habel. Ini adalah kisah perseteruan klasik antara saudara bersaudara yang sudah ada sejak keluarga pertama di Alkitab. Perseteruan yang disebabkan karena kecemburuan, persaingan satu terhadap yang lain. Menurut cerita-cerita Yahudi, bukan hanya Kain yang harus dipersalahkan dalam kisah mereka. Tetapi Habel juga. Ada banyak penafsiran yang berbeda menurut para Rabbi Yahudi. Namun banyak yang juga menyalahkan Habel sama seperti Kain.
Ada yang mengatakan bahwa ketika Kain mengajak Habel ke padang, mereka berargumen tentang kepemilikan tanah atau ladang. Kain yang tidak dapat menahan emosinya akhirnya membunuh Habel. Perseteruan karena properti. Ada yang mengatakan bahwa ketika Habel dilahirkan, Habel memiliki kembaran wanita. Kain dikemudian hari menganggap dirinya berhak mengawini kembaran Habel karena ia anak sulung, sedangkan Habel berkeras untuk tidak melepaskan kembarannya dan merasa lebih berhak mengawininya sebab ia lahir bersama dengannya.
Akhirnya Adam dan Hawa, sebagai orang tua mereka, menyuruh mereka membawa perkara mereka kepada Tuhan untuk diputuskan. Itu sebabnya mereka berdua kemudian mengadakan korban persembahan kepada Tuhan dalam Kejadian 4. Namun apa daya bagi Kain, Tuhan justru berkenan pada Habel dan korbannya. Ini menyebabkan Kain marah dan membunuh Habel.
Bagaimanapun penafsiran-penafsiran ini, tentang yang mana yang benar dan mana yang salah (para rabbi pun kebingungan), pada akhirnya Alkitab tetap menunjukkan Kain (tetap) membunuh Habel. Kain menolak menjadi kakak yang baik, saudara sulung yang memelihara adik-adiknya, a brother’s keeper! Bagaimanapun juga kisah Kain dan Habel menceritakan contoh pertama dari realita kehidupan manusia yang mengerikan: saudara melawan saudara. Dosa ketidaktaatan yang pertama muncul di Alkitab dalam Kejadian 3, yang kelihatan sederhana: hanya makan buah yang dilarang, dengan cepat berkembang menjadi dosa pembunuhan. Bahkan saudara yang membunuh saudaranya sendiri.
Coba renungkan kutipan dibawah ini dari link yang ada diatas.
Firman TUHAN kepada Kain: ”Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: ”Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku? (ha-shomer achi anokhi?)” (Kejadian 4:9-10)
Berikut ini sebuah perumpamaan yang mirip untuk menunjukkan argumen Kain selanjutnya yang dipercaya Rabi Yahudi: Seorang pencuri mencuri banyak barang di malam hari dan tidak tertangkap. Baru di pagi hari penjaga gerbang menangkapnya. Dia berkata kepada pencuri itu, “Mengapa kamu mencuri barang-barang itu?” Pencuri menjawab, “Saya seorang pencuri dan saya tidak mengecewakan profesi saya, tetapi Anda, profesi Anda adalah penjaga gerbang, mengapa Anda mengecewakan profesi Anda? Tapi sekarang kamu justru menanyakan ini padaku?”
Jadi inilah yang dikatakan Kain (kepada Tuhan, menurut penafsiran banyak Rabbi): “Aku membunuhnya [karena] kamu menciptakan dalam diriku kecenderungan berbuat jahat. Tapi Engkau — Engkau adalah Penjaga (haShomer) dari semua hal, mengapa Engkau membiarkan saya membunuhnya? Engkaulah yang membunuhnya — Engkau yang disebut AKU (Tuhan, Anokhi), karena jika saja Engkau mau menerima pengorbananku seperti Engkau menerima pengorbanannya (Habel), aku tidak akan cemburu padanya! Aku tentu akhirnya tidak akan membunuhnya!” (Tanhuma Bereishit).
Di sini, jawaban Alkitab ketika Kain berkata, "Apakah saya penjaga saudara saya?" telah diputar balik. Kata Anokhi, bentuk kata yang tidak umum yang berarti 'Aku,' yang, secara mencolok, juga digunakan di awal 10 Perintah Tuhan, seperti dalam, "Akulah Tuhan, Allahmu ...."
Para rabi memahami penggunaan kata 'Anokhi' oleh Kain di sini bukan sebagai orang pertama tunggal, tetapi sebagai nama lain dari Tuhan. “Bukankah Anokhi (Tuhan) adalah penjaga saudaraku?” dia membalas demikian atas pertanyaan Tuhan, untuk membuktikan bahwa seolah-olah: "Tuhan (dan bukan aku, Kain) yang memiliki tugas untuk menjaga saudaraku Habel, dan karena itu Tuhan yang salah!"
Sepintas, kedengarannya seperti dalih terakhir orang yang dikutuk, tetapi tanggapan Kain sebenarnya cukup cerdik (menurut kita sebagai manusia). Dunia baru saja dimulai, dan serangan manusia-ke-manusia pertama baru saja terjadi, tetapi apakah Kain menerima kesalahan atas kejahatan ini? Dia tidak hanya menyamakan Tuhan dengan seorang penjaga (shomer) yang gagal menjalankan tugasnya, tetapi dia juga mengingatkan Tuhan bahwa karena Tuhan menciptakan kecenderungan untuk melakukan kejahatan, maka Tuhan pada akhirnya bertanggung jawab!
Apakah memang demikian? Bukankah Tuhan sudah memperingatkan Kain dalam ayat 6-7, mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.
Peringatan Tuhan menunjukkan adanya hati yang berubah setia, hati yang berubah jahat!
Yakobus 1:12-16 berkata, Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia. Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ”Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut. Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat!
Ya, bagaimanapun situasi dan keadaan kita, KITALAH SENDIRI yang harus menjaga hati kita!
Amsal 4:23, Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Bukan Tuhan! Menjaga hati adalah tugas setiap kita masing-masing.
Dan perlu kita akui bahwa hati kita itu JAHAT adanya!
Yeremia 17:9-10, Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.”
Masihkah kita mau menyalahkan Tuhan? Mungkin kita juga akan berkata, itu salahnya Dia yang sudah menciptakan orang seperti saya!
Masalahnya ada disini, bagaimanapun benarnya kita beragumen terhadap Dia, Dia tetap Tuhan dan kita tetap manusia. Sanggupkah kita melawan Dia?
Ratapan 3:39-40, Mengapa orang hidup mengeluh? Biarlah setiap orang mengeluh tentang dosanya! Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan berpaling kepada TUHAN.
1 Yohanes 1:8-10, Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.
2 Tawarikh 7:14, dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.
Amin.
ALe
Khususnya di masa pandemi ini, sangat mudah bagi banyak orang untuk menyalahkan Tuhan. Bahkan menempatkan kanNya sebagai sosok yang tak berdaya karena keadaan ini. Warisan nenek moyang yang tetap dipikul banyak orang adalah gemar memyalahkan TUHAN. Btw thanks untuk tulisannya! Sangat terberkati.