Bagian 1 – Bagian 2
Itu sebabnya badai tetap datang, bahkan badai seringkali justru bertiup lebih keras. Badai akan mengangkat semua kepalsuan kehidupan dan menunjukkan siapa kita sebenarnya, bukan hanya dihadapan Tuhan tapi justru dihadapan manusia. Badai akan mempermuliakan mereka yang berakar kuat didalam Dia atau mempermalukan mereka yang tidak sungguh-sungguh mengenal Dia dari hati mereka.
Badai besar
Kembali kepada bacaan ayat kita diatas akan Markus 4:35-41. Badai yang bangkit menyerang perahu mereka dalam ayat 37, bukanlah sekedar badai yang biasa dialami oleh para nelayan ketika pergi menangkap ikan ditengah malam. Dalam Matius 8:24 (Passion Translation) menunjukkan bahwa badai dan ombak besar yang timbul saat itu disebabkan oleh gempa (bawah laut) yang terjadi. Tidak heran Markus 4:37 (NKJV with Strong’s) dalam terjemahan aslinya memakai kata yang diterjemahkan bukan sekedar besar tapi mega, angin dan ombak besar (mega wave). Angin dan ombak yang membuat perahu mereka hampir tenggelam.
Tertidur
Tapi yang mengherankan adalah Yesus yang tetap bisa tertidur, bahkan pulas karena Ia tidak bangun sama sekali kecuali dibangunkan oleh murid-murid-Nya. Terlepas dari sikap kenapa Dia seakan-akan tidak peduli dengan hampir tenggelamnya perahu mereka, Tuhan kita bisa menemukan damai ditengah badai besar. Suatu damai yang jauh lebih besar dari pada badai besar yang sudah hampir menenggelamkan mereka. Karena orang yg bisa pulas seperti Tuhan saat itu Cuma punya 2 alasan, terlalu lelah atau terlalu merasa aman, penuh damai. Kita perlu punya yang kedua, bukankah Dia telah berjanji untuk damai yang seperti itu? Suatu damai yang melampaui segala akal dan pikiran, Filipi 4:7 & Yohanes 14:27.
Ada banyak kata prosperity yang diterjemahkan salah sebagai kemakmuran dijaman sekarang ini. Kata yang sebenarnya punya arti sebagai damai sejahtera seringkali diterjemahkan berbeda karena ada kepentingan tertentu didalamnya karena pengaruh kuat teologi kemakmuran. Banyak dari kita rupanya sangat ingin menjadi kaya, dan mulai berpikir seperti dunia bahwa uang bisa menyelesaikan segala sesuatu. Tuhan pun kita cari hanya karena kita perlu duit. Dalam bahasa asli Alkitab, yaitu Ibrani, Mazmur 127:2 bagian akhir punya arti bahwa Tuhan memberkati kita dengan tidur. Dia memberikan tidur kepada yang dikasihi-Nya, King James Version (terjemahan paling dekat dengan bahasa Ibrani). Tapi dalam terjemahan Indonesia dan banyak bahasa Inggris yang lain, bagian akhir ini selalu diterjemahkan dengan Dia memberikannya.. pada waktu tidur. Seperti ada sesuatu yang kita dapatkan pada waktu tidur. Dan kita lebih menyukai terjemahan ini sebab lebih menyenangkan jiwa kita yang serakah dengan harta dunia. Tidak, Tuhan memberi kita tidur, istirahat! Tidur karena mengetahui Dia sanggup dan pasti memelihara kita. Tidur karena damai sejahtera yang menguasai hati dan pikiran bagaimanapun situasi disekitar kita. Kalau Yesus bisa tertidur ditengah ombak yang besarnya seperti tsunami, mengapa kita tidak bisa tenang ditengah badai kehidupan? Bukankah janji-Nya ya dan amin, Dia tidak akan pernah gagal dan Dia tidak akan mulai gagal dengan anda.
Tidak peduli?
Sikap Tuhan yang tertidur ini memang menimbulkan pertanyaan, Engkau tidak perduli kalau kita binasa? Saking lelapnya, bahkan tetap belum terbangun ketika perahu mereka hampir tenggelam.. membuat para murid bertanya-tanya. Ya banyak kali demikian pula dalam kehidupan yang kita punya ketika ditimpa badai, Tuhan lebih banyak berdiam diri. Dimana Tuhan, dimana pertolongan-Nya?
Apalagi ketika Dia dibangunkan, Dia rupanya marah kepada murid (sebelum dalam Matius dan sesudah dalam Markus). Dia balik menegur mereka, mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya? Mengapa Tuhan menegur mereka? Bukankah Tuhan seharusnya sadar bahwa mereka semua termasuk Tuhan hampir mati? Perahu akan segera tenggelam, kan?
Banyak kali kita tidak mengerti jalan-jalan Tuhan, disinipun penulis tidak akan berusaha menjelaskan kenapa demikian sikap Tuhan. Jalan-jalan Tuhan penuh misteri, seringkali mau tidak mau kita hanya harus terus belajar mempercayai-Nya apa pun yang terjadi. Tapi ada beberapa yang boleh dipertimbangkan sebagai hikmat Tuhan dalam perkara ini.
- Percaya atau takut
Dalam banyak hal kita harus belajar memilih untuk tetap percaya dan mulai sungguh-sungguh meninggalkan ketakutan kita. Banyak dari kita senang naik pesawat ketika bepergian jauh. Tapi ketika pesawat ini mengalami (hanya) turbulensi udara yang kuat (bukan goncangan karena sesuatu hal yang menyebabkan pesawat akan jatuh), keadaan di kabin berubah seketika itu menjadi penuh doa. Nama Tuhan dan segala macam yang ilahi dipanggil begitu rupa. Seperti ada kebaktian kebangunan rohani atau kebaktian doa yang lagi seru-serunya. Ya, persis keadaan dalam Markus 4:38 ini. Akankah Tuhan menjawab doa-doa yang naik seperti ini? Ya dan tidak. Dalam banyak kasus pesawat yang jatuh, bisa dikatakan Tuhan tidak menjawab. Tapi dalam kasus-kasus pesawat yang tidak jadi jatuh, bisa dikatakan Tuhan telah menolong mereka. Satu hal yang perlu direnungkan adalah jangan berdoa keluar dari ketakutan, tapi dengan iman. Karena Cuma dengan iman, Tuhan akan berkenan mendengar doa kita. Ibrani 11:6. Jadi perlu diperhatikan bahwa kita perlu berdoa untuk perlindungan-Nya sebelum berangkat dan bukan ketika sedang hampir celaka. Ya, doa sesaat sebelum hampir celaka sebaiknya merupakan doa penyerahan kepada kehendak Tuhan. Orang yang punya hidup doa mengerti dengan benar akan maksud dan rencana Tuhan yang lebih baik daripada sekedar hidup yang dimilikinya.
Ketika Tuhan menegur mereka yang berseru-seru dalam ayat 38 Markus pasal 4 ini, Tuhan bisa melihat pergumulan mereka ketika menemukan Tuhan yang tertidur. Mereka bergumul untuk mempercayai apakah Tuhan sanggup menolong mereka dan jika Ia sanggup, apakah Ia mau. Bahkan kelihatan jelas bahwa mereka sedang bergumul mempercayai bahwa bagaimanapun ending situasi mereka, Tuhan tidak akan meninggalkan mereka. Mereka sulit melihat bagaimana mereka akan melalui situasi ini bersama Tuhan. Kenapa demikian? Karena hati yang tidak percaya. Itu teguran Tuhan disitu, mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?
Ya, banyak dari kita sulit melihat ending situasi sulit yang sedang kita lalui. Banyak kali ini disebabkan karena takutnya kita terhadap kematian. Kita perlu belajar dari iman Abraham dalam Roma 4:17-21, seperti ada tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa”–di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada. Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Perhatikan ayat 17, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada. Abraham mengenal Tuhan sebagai Dia yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada, Ishak yang lahir dimasa tuanya. Tapi ketika Tuhan meminta Abraham mempersembahkan Ishak, disitu Ia belajar mengenal bahwa Ia adalah Allah yang menghidupkan orang mati. Kita perlu datang dalam pengenalan seperti ini, mengenal bahwa Ia adalah Allah yang menghidupkan orang mati. Dan untuk itu seringkali kita harus melewati kematian itu sendiri sebelum mengalami kebangkitan-Nya. Filipi 3:10-11, Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
2. Puji-pujian, sembah dan ucapan syukur
Kita harus (belajar, paling tidak) memilih percaya dan bukan ketakutan, bagaimana pun ending situasi kita. Dan iman yang mempercayai Tuhan tetap menyertai itu nyata dari sikap hati kita ditengah-tengah badai ini. Puji-pujian, sembah dan ucapan syukur merupakan tindakan iman, perbuatan iman yang menunjukkan percaya bahwa Dia memegang situasi, mengendalikan segala sesuatu. Teriak-teriakan, seru-seruan para murid dalam Markus 4:38 justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Itu sebabnya Tuhan menegur mereka. Pertanyaannya, dalam situasi badai kita masing-masing.. sikap mana yang kita kerjakan?
Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan dalam Kejadian 22 ketika Tuhan meminta Abraham mempersembahkan Ishak..
- Ayat 3, Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham. Abraham tidak menunda sama sekali.
- Ayat 4, Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, keliha-tanlah kepadanya tempat itu dari jauh.
- Ayat 8, Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku. Dalam usahanya menenangkan anaknya Ishak, Abraham mengeluarkan pernyataan penuh iman ini. Pernyataan yang berhikmat dan penuh percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka.
- Ayat 10, Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Ayat 12, engkau tidak segan-segan.
Semua tindakan Abraham diatas menunjukkan iman Abraham yang nyata dari perbuatannya. Ia tidak menunda perjalanannya dalam ayat 3. Ia tidak berubah pikiran dalam ayat 4. Ia tetap percaya Tuhan tidak meninggalkan mereka, Tuhan tidak bermaksud buruk dengan meminta Ishak. Dan dalam ayat 10-12, Tuhan melihat dia tidak segan-segan mengerjakan semua ini.
Ya, banyak dari kita dengan cepat berubah setia ketika situasi buruk menimpa kita. Mulut kita terutama dengan cepat menyanggah Tuhan dalam tindakan-Nya dan berbantah dengan Dia terhadap segala sesuatu yang Ia ijinkan terjadi. Kenapa Tuhan? Bahkan dengan cepat kita mengutuki Dia, tangan kita teracung begitu rupa menantang Dia untuk semua kesulitan yang Ia biarkan terjadi atas kita. Persis seperti tuduhan iblis pada anak-anak Tuhan dalam Ayub 1:11, Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.
Apalagi jika kita adalah salah satu murid didalam perahu yang hampir tenggelam itu dalam Markus 4, Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa? Ketika Tuhan berdiam diri dalam kesulitan kita, apakah itu artinya Tuhan tidak peduli kalau kita binasa karenanya? Sikap kita akan menunjukkan kondisi hati kita: percaya atau ketakutan. Apakah kita bisa tetap memuji-muji Dia, tetap menyembah Dia? Apakah kita tetap bisa bersyukur atau kita mengamuk dan marah kepada Dia?
3. Setiap badai adalah ujian
Setiap murid sekolah mengerti satu perkara, untuk naik kelas mereka harus ikut ulangan. Atau ujian. Jika menolak, mereka tidak bisa naik kelas. Dalam hidup ini, setiap badai adalah ujian Tuhan bagi kita untuk naik level. Badai adalah hamba Tuhan yang lebih baik dari semua pendeta yang ada, badai selalu datang dengan maksud dan tujuan Tuhan yang harus digenapi dalam hidup kita. Jadi jangan buru-buru menengking badai ini, mari kita merendahkan diri meminta pertolongan dan penyertaan Tuhan untuk melewati badai ini dengan benar. Karena jika tujuan Tuhan bisa digenapi dalam kita melalui badai, pasti ada yang berubah dalam diri kita. Kita akan makin serupa dengan Kristus, makin mengenal Dia sebagai Bapa yang baik dan Kawan yang paling dekat digelapnya malam.
Hal yang menarik dalam masa ujian adalah guru tidak akan banyak bicara. Pada hampir segala waktu ujian, guru-guru Cuma akan sibuk mempelototin para murid, memperhatikan mereka mengerjakan ujian. Bahkan tidak boleh bertanya, kecuali bagaimana teknis mengerjakan ujian itu. Kenapa dalam perkara rohani kita menganggap Tuhan harus bicara pada kita ketika ujian (badai) datang dalam hidup kita? Dan marah kepada Dia ketika Dia bungkam seribu bahasa? Bukankah kita sedang dalam ujian ketika badai datang?
Mungkin karena ketika Tuhan sedang mengajar kita dalam kelas kehidupan, kita terlalu sibuk dengan diri kita, urusan kita, bisnis kita dan segala sesuatu tentang kita sampai kita tidak bisa mendengarkan suara Tuhan. Itu artinya itu adalah salah kita sendiri yang tidak memperhatikan Dia ketika sedang mengajar kita. Tapi marah waktu ujian ketika Dia berhenti berbicara. Disini telah dijelaskan diawal tulisan diatas, punya Tuhan bukan berarti punya hubungan dengan Dia. Kita perlu mengenal Dia dekat, bukan sekedar punya assesoris Kristen dalam hidup kita. Pengenalan adalah pengalaman kita dengan Dia.
Dan itu dimulai dengan hidup mentaati perintah-Nya.
Leave a Reply